Tuesday, November 30, 2010

Politik Luar Negeri Vietnam dalam Tantangan Globalisasi


Dalam perjalanan historis, Vietnam merupakan salah satu negara Asia Tenggara yang memiliki riwayat penjajahan yang cukup panjang. Wilayah ini pernah dikuasai Cina selama puluhan abad di masa lampau sehingga kultur politik Cina (sosialis komunis) . Kemudian di era imperialisme modern, Vietnam menjadi wilayah jajahan negara Eropa diantaranya Perancis pada tahun 1883-1940. Di masa perang dunia kedua ketika Jepang mengekspansi Asia Tenggara, Vietnam juga menjadi salah satu wilayah pendudukan negara tersebut. Kekalahan jepang dalam perang dunia kedua segera disambut dengan kemerdekaan Vietnam. Namun pasca kemerdekaanya tidak lantas menjadikan Negara ini aman dari peperangan, justru mulai tahun1946 Vietnam terlibat Perang Indocina yang berujung pada terpisahnya wilayah Vietnam Utara dan Selatan atas dasar basis ideologi. Perang Vietnam yang terjadi sekitar tahun 1957 hingga 1975 merupakan salah satu hasil dari intervensi asing yaitu Amerika Serikat dalam konflik antara kedua wilayah ini. Perang Vietnam ini menjadi perang nyata yang terjadi saat itu ketika dunia diwarnai dengan perang dingin antara blok barat (Amerika Serikat) serta timur (Uni Soviet) dalam penanaman pengaruh ideologi masing-masing.
Selanjutnya kemenangan basis komunis Vietnam utara yang berhasil menguasai wilayah selatan dan berhasil mengusir Amerika dari Vietnam menjadi legitimasi untuk menerapkan komunisme secara penuh dalam politik Vietnam. Sebagai negara sosialis yang menganut sistem satu partai, pemerintahan Vietnam dijalankan secara sentralistik dalam setiap pengambilan kebijakan. Termasuk dalam pembuatan kebijakan luar negeri, Partai Komunis Vietnam (PKV) sebagai partai tunggal memegang posisi penting untuk menentukan haluan dalam hubungan luar negeri Vietnam. Sistem sosialisme Vietnam yang dijalankan selama ini dianggap kurang menguntungkan jika fokusnya adalah ekonomi. Mengingat basis ekonomi Vietnam adalah pertanian dengan tingkat produktivitas rendah menjadikan negara ini awalnya tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan sangat rentan dengan krisis. Selain itu, agresifitas politik luar negeri dan masifnya peperangan beberapa decade yang lalu menjadikan kondisi perekonomian semakin terpuruk. Sehingga pasca perang berakhir, orientasi politik luar negeri Vietnam tidak lagi tentang bagaimana memperjuangkan ideologi dan kekuatan politik, namun lebih mengarah pada rehabilitasi ekonomi.
Pertanyaan yang menarik terkait hal tersebut adalah bagaimana prospek orientasi kebijakan luar negeri Vietnam yang akhir-akhir ini berorientasi pada ekonomi dan liberalisasi perdagangan?

Dari Kepentingan Ideologi ke Rehabilitasi Ekonomi
Keterpurukan ekonomi akibat peperangan di masa lampau mempengaruhi elit pembuatan kebijakan Vietnam untuk melakukan perubahan dalam sistem perpolitikan. Pada tahun 1986, Partai Komunis Vietnam (PKV) melaksanakan Kongresnya yang keenam di Hanoi. Hal ini menjadi perubahan mendasar dalam perpolitikan Vietnam karena dalam momentum tersebut dihasilkan suatu keputusan yang dikenal sebagai “Doi Moi” atau kebijakan renovasi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh kepentingan nasional Vietnam dan konstelasi politik internasional yang mengalami perubahan. Kondisi Vietnam yang saat itu secara politik dan ekonomi terisolasi dapat berpotensi menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Rapuhnya ekonomi domestic dan kuatnya kekuasaan politik partai komunis tentu menjadi sebuah pertimbangan yang cukup penting dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Vietnam terutama jika dihadapkan dengan tantangan globalisasi.
Keterbukaan dan perluasan hubungan dengan dunia luar merupakan hal yang penting bagi Vietnam karena akan memberi peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan pertahanan. Normalisasi hubungannya dengan Amerika Serikat pada 1992, memberikan pengaruh yang penting dalam rekonstruksi paradigma keamanan Vietnam. Bagi Vietnam saat ini, keamanan tidak lagi dilihat sebatas ancaman pada ideologi negaranya tetapi ancaman yang perlu dipertimbangkan adalah kemiskinan, kekurangan pangan, dan keterbelakangan. Maka, keterbukaan perlu diterapkan terutama dalam hal ekonomi meskipun tanpa mengabaikan kekuatan sistem politik sosialis.
Dalam hal ini, Vietnam perlu melihat bagaimana Cina bisa bertahan dan semakin maju dengan ideologi negara yang sama, sosialisme, namun juga terbuka terhadap ekonomi dan perdagangan dunia. Maka para politbiro PKV pada awal 1990-an membuat keputusan untuk memberi peran kepada swasta dan masyarakat untuk berkecimpung di bidang ekonomi. Sejak saat itu, perekonomian Vietnam lebih terbuka terhadap investasi asing dengan masuknya bantuan dan perusahaan asing serta maksimalisasi perdagangan dengan negara lain. Sebagai contohnya, perusahaan-perusahaan global mengincar Vietnam untuk meluaskan sayap bisnisnya, mulai dari perusahaan raksasa semikonduktor Intel sampai rumah busana Victoria's Secret. Keberadaan perusahaan transnasional tersebut membantu menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Vietnam meskipun hanya dengan menjadi pekerja pabrik.
Manufacturing memang merupakan kegiatan usaha yang paling menonjol. Sebagai contohnya Nike, dengan lebih dari 130 ribu pekerja pada 165 subkontarktor di Vietnam, telah mengambil bagian sangat besar dalam perbaikan kondisi seperti terlihat sekarang. Maka sampai saat ini pun, pemerintah Vietnam berfokus untuk menarik investasi asing sebanyak mungkin ke dalam negeri dengan menjalin kerjasama dan hubungan diplomatic secara intensif dengan Negara-negara seperti Taiwan, Korea, bahkan negara barat termasuk Eropa dan Amerika sekalipun yang dulunya menjadi musuh. Selain itu, Vietnam juga lebih intensif terlibat dalam forum-forum perdagangan dunia, misalnya WTO, dan aktif membahas isu-isu perdagangan dan ekonomi internasional.
Perubahan kepentingan nasional Vietnam yang mempengaruhi orientasi politik luar negeri Vietnam dapat dipahami melalui konsepsi Richard C. Snyder tentang politik luar negeri. Menurut Snyder politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh Internal Factors dan External Factors. Dalam kasus Vietnam ini, perubahan orientasi politik luar negeri tidak terlepas dari dinamika factor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Saat ini factor internal yang menjadi kepentingan Vietnam adalah rehabilitasi ekonomi dalam negeri agar dapat bertahan dalam kompetisi ekonomi global. Jaminan kemakmuran ekonomi ini juga menjadi kunci penting untuk mewujudkan stabilitas politik dan keteraturan sosial sehingga pemerintahan dapat berlangsung secara fungsional. Sedangkan factor eksternal yang mempengaruhi perubahan orientasi politik luar negeri Vietnam tidak lagi ancaman pertarungan ideologi dunia atau pun peperangan untuk berebut pengaruh antara barat dan timur, melainkan lebih dipengaruhi oleh letak geografis Vietnam dalam regionalism Asia Tenggara yang rawan konflik perbatasan serta keberadaan pengaruh Cina yang begitu besar di kawasan. Dalam hal ini Vietnam melihat peluang strategis untuk bekerjasama dalam ekonomi untuk meminimalisir konflik politik.

Prospek Orientasi Ekonomi dalam Kebijakan Luar Negeri Vietnam
Berdasarkan kondisi di atas, perluasan hubungan luar negeri Vietnam difokuskan untuk mengatasi keterisolasian di bidang politik dan ekonomi serta untuk mengintegrasikan perekonomian pada tingkat regional dan global. Namun apakah di masa depan orientasi politik luar negeri Vietnam tetap mengedepankan factor ekonomi? Kasus serupa dipotret oleh David Wurfel dalam bukunya “The Political Economy of Foreign Policy in Southeast Asia”, bahwa kerangka ekonomi-politik yang digunakan menganalisa perbandingan Politik Luar Negeri negara-negara Asia Tenggara pada umumnya tetap menempatkan faktor non-ekonomi di depan, walaupun nampaknya ada pergeseran dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam yang berhasil menarik perusahaan manufaktur global seperti Disney dan Intel untuk masuk ke negeri itu telah menciptakan pilihan-pilihan karir baru bagi tenaga kerja muda, terutama kaum perempuan. Kesibukan aktivitas industrial menjadi gambaran nyata bagi posisi Vietnam dalam percaturan ekonomi dunia saat ini. Lebih dari satu dekade setelah normalisasi hubungannya dengan Amerika dan berakhirnya peperangan, Vietnam muncul secara mengejutkan di tengah perdagangan global. Bahkan, kini Vietnam telah ikut memasuki jalur supercepat perdagangan bebas dengan menjadi anggota WTO sehingga kesempatan dan risiko kini terbuka sama besar di Vietnam. Saat ini, negeri tersebut mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Asia setelah China (8,4% tahun 2005). Beberapa hal tersebut cukup menjadi acuan untuk menganalisis prospek kebijakan luar negeri Vietnam yang berorientasi pada ekonomi.
Pertama, selama kepentingan rehabilitasi dan pertumbuhan ekonomi domestic masih menjadi agenda penting Vietnam untuk mengintegrasikan perekonomian ke sistem global, maka diprediksi dalam beberapa tahun mendatang politik luar negeri Vietnam masih akan berorientasi pada kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan Negara-negara di dunia terutama Negara maju. Melihat pertumbuhan ekonomi Vietnam yang begitu potensial sebagaimana disebutkan di atas, dapat diperkirakan ekonomi Vietnam akan terus tumbuh seiring dengan perkembangan ekonomi dunia. Bahkan dalam beberapa decade mendatang, sangat dimungkinkan Vietnam menjadi Negara maju jika negara tersebut mengikuti resep kemajuan Cina dan Singapura : liberalisasi ekonomi dengan penguatan dan pemusatan sistem politik domestik.
Kedua, memang di satu sisi ekonomi Vietnam cukup potensial dan progresif, namun pembangunan ekonomi saja tidak cukup untuk meraih predikat sebagai negara maju. Hal yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan pembangunan utamanya adalah peningkatan kapasitas kemampuan sumber daya manusia. Jadi kebijakan luar negeri tidak hanya difokuskan pada maksimalisasi invesatsi asing atau pun kerjasama perdagangan, tetapi juga perlu dioptimalkan dalam kerjasama teknologi dan peningkatan mutu pendidikan dengan Negara-negara maju.
Ketiga, prospek ini dapat dianalisis dari tujuan jangka panjang. Kemungkinan dengan tercapainya kemakmuran ekonomi, maka keberhasilan pembangunan di bidang lain dapat tercapai misalnya stabilitas politik domestic serta kekuatan untuk memperbesar anggaran pertahanan dan keamanan nasional.

Kesimpulan
Dinamika politik luar negeri Vietnam dipengaruhi oleh kondisi factor internal dan eksternal di masing-masing periode. Berubahnya orientasi politik luar negeri Vietnam tidak terlepas dari perubahan konsep keamanan yang dipahami Negara tersebut. Dahulu politik luar negeri Vietnam cenderung agresif karena ancaman dipahami sebagai pertarungan antar ideology dan peperangan berbasis perebutan pengaruh ideology. Namun saat ini, ancaman lebih dipahami sebagai hal-hal yang mengancam human security khususnya dalam hal ekonomi. Oleh sebab itu, politik luar negeri Vietnam akhir-akhir ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengintegrasian ekonomi ke dalam sistem global. Selanjutnya, orientasi dan prospek politik luar negeri Vietnam di masa depan akan tetap ditentukan oleh factor internal dan eksternal serta bagaimana elit pembuat kebijakan menyikapi tantangan tersebut.

Wednesday, September 1, 2010

Memimpikan Euro Sebagai Mata Uang Global

Pendahuluan
Dalam perjalanan historis perekonomian internasional, berakhirnya kesepakatan Bretton Woods yang dilanggar secara sepihak oleh Amerika Serikat telah menjadikan Dolar AS semakin mendominasi sebagai alat tukar internasional. Strategi ini sangat berhasil mendominasi perekonomian dunia dengan memaksakan Dolar AS sebagai alat tukar internasional, khususnya kepada negara-negara berkembang. Hal ini bagi beberapa pihak sering disebut sebagai neo-imperialisme AS melalui politik moneternya karena telah terbukti menghancurkan perekonomian negara-negara yang tidak tunduk pada negara adi daya itu, seperti Meksiko, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang mengalami krisis moneter pada 1997 (Nafik, 2009). Dalam poin tersebut dapat terlihat bahwa AS begitu cerdas menggunakan kekuatannya melalui rezim moneter internasional yang dikendalikannya untuk mengontrol seluruh kegiatan perdagangan, investasi, hutang piutang bahkan agenda politik di suatu negara atau lembaga internasional selama Dolar masih dipercaya sebagai alat tukar internasional.
Namun, runtuhnya sistem keuangan Amerika di akhir tahun 2008 akibat kredit macet perumahan yang mengakibatkan krisis pasar finansial dan resesi ekonomi global mendorong beberapa pihak meninjau ulang posisi Dolar AS sebagai cadangan devisa utama dunia. Nilai tukar Dolar AS yang semakin tergerus akibat kebijakan moneter longgar yang diadopsi bank sentral Amerika, the Federal Reserve, menimbulkan kekhawatiran terhadap keputusan untuk mempertahankan penggunaan Dolar AS sebagai cadangan devisa. Di sisi lain, sistem Dolar AS yang akhir-akhir ini menunjukkan ketidakstabilan dan sangat rentan terhadap krisis finansial yang dapat menimbulkan spillover effect bagi perekonomian di seluruh dunia, memberikan semangat baru bagi negara-negara pemilik mata uang potensial untuk mengedepankan mata uangnya dalam kompetisi pencarian kedudukan dan power ekonomi menggantikan Dolar AS. Negara-negara seperti Brazil, Rusia, India, dan China (BRIC) saling berkompetisi untuk mempromosikan mata uangnya sebagai alternatif baru mata uang global meskipun dalam proses awalnya mereka lebih cenderung berkoalisi untuk mencari solusi penanganan krisis sistemik keuangan internasional. Dalam pernyataan bersama, BRIC menyatakan mereka sepakat untuk mempercepat reformasi institusi-institusi finansial internasional sehingga merefleksikan perubahan dalam ekonomi dunia. Bagi mereka, negara-negara berkembang dan ekonomi yang tengah membangun seharusnya memiliki suara lebih besar dan representatif dalam institusi-institusi finansial internasional. Namun di sisi lain, beberapa pihak justru memprediksi bahwa Euro menjadi salah satu kandidat kuat dalam hal ini karena mempunyai potensi besar untuk menggantikan posisi Dolar AS. Argumen tersebut didasarkan pada pertimbangan atas perekonomian Eropa yang semakin menguat dan keberhasilan stabilitas pertumbuhan regional yang diraih melalui integrasi moneter.
Namun, apakah Euro mampu menggantikan posisi Dolar AS yang telah lama menancapkan hegemoninya dalam sistem internasional? Hambatan dan tantangan apa yang akan dihadapi Euro untuk menjadi mata uang global?

Pencarian Orde Baru Sistem Moneter Internasional
Beberapa ahli percaya bahwa sistem moneter internasional memerlukan sebuah rezim yang kuat yang mampu mengakomodasi friksi internal dan tuntutan stabilitas moneter internasional. Dalam hal ini, sistem moneter internasional setidaknya tetap memperhatikan dua hal penting yaitu hegemoni dan faktor manajerial yang dapat merujuk pada suatu mata uang bersama yang diatur melalui sebuah rezim keuangan yang altruis dan dipercaya secara global. Sistem moneter internasional secara idealnya harus mampu menggalakkan kerjasama antar negara dan menjaga agar fleksibilitas dan stabilitas moneter tetap seimbang. Susan Strange dan David Calleo mengidentifikasi bahwa sistem tersebut akan mendapatkan masalah bilamana manajerial yang dijalankan cenderung menjadi tiran dan mengeksploitasi sistem moneter internasional untuk kepentingannya sendiri (colleo and strange, 1984). Biasanya sistem seperti ini terjadi bila alat tukar internasional yang digunakan merupakan mata uang sebuah negara yang secara sadar atau tidak telah dipaksakan untuk menjadi mata uang global.
Selama ini kaidah tersebut memang telah berlaku secara global dimana Amerika Serikat dengan Dolar tampil menjadi hegemon tunggal. Sejak awal, AS berharap mata uangnya akan mendominasi perekonomian dunia karena memang Dolar AS saat itu telah banyak beredar di luar negeri. Siasat ini sebenarnya merupakan model imperialisme baru dengan mengunakan kekuatan rezim moneter meskipun pada akhirnya justru menimbulkan krisis. Krisis tersebut merupakan contagion effect dari jatuhnya sistem keuangan di Amerika sehingga secara dramatis turut menyeret elemen dan lembaga-lembaga di level global dari sistem keuangan terkait. Ancaman krisis tersebut setidaknya dapat dihindari dengan cara memberlakukan mata uang tunggal global yang stabil sehingga hubungan ekonomi, perdagangan dan harga-harga akan lebih ditentukan oleh produktivitas, efisiensi dan kualitas. Dengan kata lain, sistem yang ideal seharusnya mampu mengatur perimbangan kekuatan antar negara sehingga negara yang mata uangnya menjadi manajer yang hegemonik tetap berpegang teguh pada obligasi untuk menjamin kepentingan negara lain dan menjaga stabilitas sistem internasional.
Bercermin dari pengalaman Dolar yang cenderung tidak stabil, terlepas dari efek negatif krisis finansial global, hal ini juga memberikan keuntungan tersendiri bagi negara seperti AS. Sistem Dolar yang berlaku selama ini bertumpu pada sistem nilai tukar mengambang dimana sistem nilai tukar mata uang suatu negara sangat relatif terhadap mata uang negara lain tergantung dari keinginan pemegang mata uang tersebut. Akibatnya, sistem nilai tukar ini tidak stabil dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan situasi ekonomi dan politik di AS. Negara-negara berkembang dengan mata uang lemah yang menggantungkan sistem moneternya pada Dolar AS harus rela untuk mendapat ‘goncangan’ ekonomi jika sewaktu-waktu terjadi perubahan drastis dari nilai tukar Dolar AS.
Dalam teorinya, penerapan uang tunggal global harus diawali dengan penyamaan persepsi diantara negara-negara di dunia, kemudian membentuk badan internasional yang memiliki otoritas dalam pemberlakuannya, baik menyangkut jumlah, penjatahan, distribusi, nilai nominal, bahan uang dan sebagainya. Dalam hal ini, pengalaman Uni Eropa dalam menerapkan mata uang bersama setidaknya dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat internasional jika ingin mencari alternatif mata uang yang baru. Salah satu hal yang terpenting dalam pencanangan mata uang bersama adalah kepercayaan (trust) terhadap mata uang dan kerelaan menitipkan kepentingan ekonomi terhadap sistem yang dijalankan oleh rezim moneter yang berlaku. Bilamana terdapat satu atau beberapa negara yang tidak setuju dengan aturan rezim, maka konsekuensinya negara tersebut harus dikeluarkan dalam sistem moneter internasional sehingga jika tidak mampu menyesuaikan dengan sistem pada akhirnya nilai mata uang negara yang bersangkutan akan semakin jatuh.
Hal yang menarik dalam penerapan Euro ini adalah Uni Eropa mampu menerapkan sistem nilai tukar terkelola (managed exchange rate) dalam level regional dimana ketidakstabilan dapat diminimalisasi melalui tindakan negara. Hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara anggota karena stabilitas nilai tukar Euro dijamin oleh European Monetary System (EMS) melalui mekanisme Bank Sentral Eropa. Salah satu keberhasilan sistem ini dapat diketahui dimana Yunani, Italia, Spanyol dan Portugal setelah bergabung dengan Euro selama bertahun-tahun mengecap keuntungan dengan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal ini memberikan peluang bagi ekonomi masing-masing negara untuk bergerak secara harmonis karena koordinasi kebijakan antar bank sentral masing-masing negara sangat penting untuk mencapai kestabilan pertumbuhan secara kolektif mengingat nilai tukar masing-masing negara sangat relatif terhadap yang lain. Sistem Euro tersebut bagi beberapa pihak direspon secara optimis untuk diberlakukan secara global tentunya dengan pencarian mekanisme baru yang lebih akomodatif oleh rezim yang cukup kredibel dalam mewujudkan kepentingan internasional.

Investigasi Sistem Internal Euro
Terlepas dari keberhasilan penerapan Euro dalam menunjang pertumbuhan ekonomi regional, pewacanaan Euro sebagai mata uang global tentunya memerlukan analisis intrinsik guna mengetahui seberapa besar peluang mata uang ini menjadi pesaing Dolar AS. Pertama, secara neo-fungsionalisme kebijakan mata uang tunggal Eropa pada awalnya diharapkan mampu memperkuat identitas politik yang integral, namun sampai saat ini Euro belum mampu menjadi identitas politik yang solid dan legitimate bagi semua negara Uni Eropa. Hal tersebut terbukti bahwa masih ada beberapa negara yang skeptis dan egois menolak penggunaan Euro misalnya Inggris. Diskursus mata uang bersama ini pada awalnya memang diharapkan mampu menjadi pengikat negara-negara Uni Eropa agar bersedia mengorbankan kedaulatan nasionalnya untuk kepentingan supranasional. Namun dalam tataran praksis, kebijakan ini justru menimbulkan dilema dan mengancam kohesivitas negara-negara anggota.
Negara-negara yang tergabung dalam sistem Euro ini sebagian besar memiliki sistem ekonomi politik yang berbeda-beda. Beberapa negara yang berorientasi stabilitas sudah membuktikan keberhasilannya, sementara sejumlah negara masih harus diragukan. Dengan demikian, negara-negara yang memiliki pandangan politik dan sosial ekonomi berbeda-beda, yang sebetulnya tidak cocok satu sama lainnya, telah bergabung dalam satu mekanisme penggunaan Euro. Selain itu meskipun awalnya penggunaan Euro terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara seperti Portugal, Italia, Yunani, dan Spanyol, namun pertumbuhan yang sementara ini kembali melemah. Upah pekerja terus meningkat tanpa diimbangi meningkatnya produktivitas dan biaya produksi meningkat lebih pesat dibanding di kawasan pengguna Euro lainnya. Dengan kata lain kemampuan bersaing negara-negara ini semakin merosot dan ekspor menurun drastis, namun di satu sisi impor terus meningkat.
Kedua, krisis Yunani yang terjadi akhir-akhir ini juga menimbulkan pesimisme terkait efektivitas manajerial Euro. Beberapa pihak mengaitkan hal tersebut dengan sistem Euro yang kuat karena krisis Yunani merupakan akibat dari hutang pemerintah yang semakin besar seiring menguatnya nilai Euro. Selama ini Yunani dikenal sebagai salah satu negara Eropa selatan yang tergabung dalam European Monatary Union (EMU) namun juga banyak melanggar kriteria konvergensi bersama ketiga partner-nya yaitu Portugal, Italia, dan Spanyol yang sering dikenal sebagai negara PIGS. Pelanggaran negara PIGS adalah terkait jumlah hutang pemerintah yang mana teridentifikasi bahwa hutang Italia mencapai 116 persen dari PDB, Spanyol 52 persen PDB, Portugal 75 persen PDB, dan Yunani mencapai 115 persen PDB (Ramli,2010).
Rizal Ramli mengidentifikasi bahwa pelanggaran negara PIGS atas kriteria konvergensi dalam EMU menciptakan sebuah kombinasi yang cukup membahayakan bagi perekonomian di suatu negara yaitu defisit anggaran dan hutang pemerintah yang terlalu besar berhadapan dengan menguatnya mata uang (Ramli,ibid). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bergabungnya Yunani dalam EMU pada awalnya banyak memberikan keuntungan dalam pertumbuhan ekonomi dalam negerinya untuk mampu menyesuaikan dengan ekonomi kawasan. Selama ini, Bank Sentral Eropa telah memberikan banyak pinjaman kepada Yunani untuk terlepas dari krisis hutangnya, namun karena kesalahan teknis dan manipulasi laporan yang terjadi justru semakin memperparah krisis hutang Yunani. Poin yang perlu digarisbawahi dalam kasus tersebut adalah lemahnya pengawasan Bank Sentral Eropa sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran kesepakatan dan manipulasi data oleh negara anggota. Selain itu, kriteria penerimaan EMU dianggap sangat lemah, sangat longgar diinterpretasikan, bahkan sebagian tidak mengalami pengawasan. Mata uang Euro terancam menjadi tidak stabil akibat beban hutang yang terlalu besar beberapa negara anggotanya. Kecacatan manajerial dalam penerapan Euro secara regional ini menimbulkan keraguan terkait penerapan mata uang tersebut secara global.
Ketiga, koordinasi moneter Eropa dianggap belum begitu efektif selama tidak ada koordinasi fiskal. Integrasi kebijakan fiskal ini masih belum tercapai karena masing-masing negara memiliki kewajiban dan target sosial ekonomi yang berbeda-beda.
Secara lebih spesifik, Uni Eropa pada awalnya hanya mencari cara baru terkait kontrol politik dalam globalisasi. Mereka melihat bahwa penyatuan moneter merupakan cara terbaik untuk menghadapi ekses-ekses negatif globalisasi yang seringkali menimbulkan ketimpangan. Namun, pihak lain melihat bahwa jatuhnya sistem ekonomi AS merupakan peluang emas bagi Uni Eropa untuk mengambilalih kendali globalisasi dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sistem Euro.

Tantangan Euro dalam Kompetisi Global
Berdasarkan investigasi terhadap sistem internal Euro, dapat dikatakan bahwa Euro memiliki potensi ekonomi yang cukup kuat. Namun, potensi tersebut tidak diikuti oleh stuktur manajerial dan keinginan politik yang cukup kuat untuk mengatasi friksi internal bahkan semakin menimbulkan keraguan terkait efektivitas Euro secara global. Pada dasarnya keberadaan Euro selama ini memiliki potensi ekonomi maupun politik bagi Uni Eropa, namun sayangnya Uni Eropa tidak begitu optimal dalam memanfaatkan peluang tersebut. Misalnya dalam kasus perdagangan minyak di Timur Tengah. Sebagaimana diketahui, Irak merupakan produsen minyak yang cukup besar di kalangan OPEC. Dengan produksi 1,5 juta barel/hari sungguh sangat menggiurkan jika bisa mengontrol produksi minyak Irak (Sugiyanto,2003). Pada awalnya, Dolar AS tampil sebagai mata uang global yang tidak tersaingi termasuk dalam perdagangan minyak dunia, namun posisi tersebut sempat terancam oleh Euro yang diajukan sebagai alternatif pendanaan baru dalam perdagangan minyak. Beberapa waktu sebelum pemerintah Amerika mendeklarasikan perang terhadap Irak, pemerintah Irak mengeluarkan sebuah ancaman untuk menjual minyaknya dalam Euro sehingga secara otomatis hal ini akan mengancam kepentingan Amerika (Setiawati,2004). Menguatnya posisi Euro tersebut setidaknya membawa keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan minyak Eropa seperti Total Fina Elf dan Shell (Setiawati, Ibid). Hal tersebut juga didukung kepentingan negara-negara OPEC untuk menggunakan Euro sebagai mata uang utama dalam perdagangan minyak karena eurozone merupakan importer minyak terbesar dunia.
Resiko yang barangkali muncul dari pengambilalihan posisi Dolar AS oleh Euro dalam perdagangan minyak dunia adalah semakin agresifnya AS memicu konflik dengan negara-negara yang mencoba membahayakan kepentingan nasionalnya seperti yang telah dilakukannya terhadap Irak. Hal ini tentunya menimbulkan dilema bagi Uni Eropa, di satu sisi konversi perdagangan minyak ke sistem Euro akan sangat menguntungkan secara ekonomi namun di sisi lain jika Euro berani menantang Dolar, berarti posisi ekonomi Uni Eropa di Timur Tengah semakin terancam dengan munculnya perang dan konflik karena ambisi Amerika mempertahankan hegemoninya.
Selain itu, semakin kuatnya nilai tukar Euro juga patut menjadi perhatian dalam perdagangan. Di satu sisi, tingginya harga komoditas akan memberikan keuntungan yang tinggi pula bagi suatu negara dan produsen, namun di sisi lain hal tersebut justru mengambat kompetisi dalam meraih minat konsumen. Analoginya, jika perdagangan bebas antar negara dilakukan dalam sistem mata uang yang kuat dimana semua harga barang dikonversikan dalam standar mata uang tersebut, maka barang-barang menjadi mahal sehingga perdagangan bebas kurang kompetitif karena konsumen cenderung memilih barang dengan harga murah.
Keberhasilan Uni Eropa menciptakan stabilitas nilai tukar secara regional melalui EMS dan Pakta Stabilitas Pertumbuhan tidak diimplementasikan lebih jauh dalam level global. Dalam hal ini Uni Eropa melihat banyak tantangan jika harus menghadapi negara lain yang telah lama memimpin dalam sistem moneter internasional seperti Amerika Serikat. Bahkan kemunculan pesaing baru seperti negara-negara BRIC menimbulkan tantangan tersendiri bagi Uni Eropa untuk mempromosikan Euro sebagai pesaing mata uang mereka. Selain itu, dalam praktik perdagangan regional di Asia Timur Jepang dan China justru menerapkan kebijakan mata uang lemah dan hutang minimum untuk meningkatkan daya saing ekspor, melindungi industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan menumpuk cadangan devisa. Melalui kebijakan tersebut ekonomi negara-negara Asia Timur dapat tumbuh di atas sepuluh persen dan mampu mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara barat. Beberapa waktu terakhir China aktif mempromosikan Yuan sebagai mata uang global mengingat penerimaan Yuan dalam beberapa tahun terus meningkat, menyusul menguatnya ekonomi China serta cadangan mata uang asing sebanyak 1,9 triliun dolar AS. Hal ini tentunya menjadi tantangan baru bagi Uni Eropa.
Pada dasarnya Uni Eropa cukup mampu untuk menghadapi persaingan tersebut, namun mereka tidak berani menjamin bahwa solidaritas negara anggota akan terus terjaga dalam menghadapi masalah global yang lebih berat. Jadi meskipun sistem Euro cukup efektif mengatasi masalah ekonomi dalam lingkup regional, namun tidak ada jaminan bahwa Euro mampu menghadapi tantangan ekonomi global jika tidak disertai dengan political will dan strategi politik dari institusi moneter yang kuat.

Kesimpulan : Mungkinkah Euro Menggantikan Dolar AS?
Terkait potensial atau tidaknya Euro menjadi mata uang alternatif dalam sistem moneter internasional menggantikan Dolar AS setidaknya dapat ditinjau dalam dua sisi. Pertama, secara ekonomi mata uang ini memiliki kapasitas yang cukup besar untuk menduduki posisi terdepan dalam siklus perdagangan, investasi, dan perekonomian internasional. Secara internal, nilai tukar Euro yang begitu kuat setidaknya mampu mendorong para investor untuk memperbanyak investasinya. Perihal keberhasilan cost and benefit Euro pun telah banyak dirasakan oleh beberapa negara Eropa yang mampu mencapai tingkat ekonomi yang relatif stabil dan pertumbuhan yang kompetitif meskipun diantaranya masih harus menyesuaikan. Dapat dikatakan, secara idealnya kriteria konvergensi yang ditetapkan dalam European Monetary System (EMS) menjadi peluang yang cukup inovatif jika mampu diterapkan secara internasional.
Kedua, secara politis, banyak pihak yang meragukan bahwa Euro mampu menjadi mata uang alternatif menggantikan Dolar AS. Pencarian mata uang alternatif dalam sistem moneter internasional tidak hanya mengacu pada pertimbangan ekonomis, namun faktor politis akan tetap menjadi kekuatan dan legalitas dalam hubungan ekonomi politik. Hal tersebut telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam teori politik keuangan internasional keberadaan uang tidak hanya dianggap sebagai alat tukar dalam kepentingan ekonomi semata, namun sebagai alat untuk membentuk hegemoni yang pada akhirnya sangat penting untuk mengendalikan interaksi antara struktur-struktur politik. Dalam hal ini yang diperlukan adalah political will dari negara atau komunitas pemilik mata uang.
Namun, sampai saat ini tidak ada deklarasi secara ekspresif dari Uni Eropa bahwa Euro akan dinobatkan menjadi mata uang global sebagai tandingan Dolar AS. Pada dasarnya pencanangan Euro sebagai mata uang bersama Uni Eropa hanya dianggap sebagai respon terhadap ketidakstabilan sistem moneter internasional dalam lingkup regional. Dapat dikatakan, Euro merupakan kebijakan Uni Eropa untuk membentuk globalisasi finansial dalam resep mereka sendiri dan dalam lingkup regional. Hal ini menarik karena terlepas dari kesuksesan dan kegagalan sistem Euro dalam membangun stabilitas keuangan dan perekonomian regional, banyak pihak yang memimpikan Euro mampu mengambil peran lebih jauh dalam isu-isu internasional. Namun yang justru menjadi hambatan adalah sistem manajerial dan political will dari Uni Eropa sendiri. Selama ini Uni Eropa lebih sibuk membangun dan menguatkan manajemen Euro secara internal dan mengatasi kasus-kasus kegagalan penerapan EMS di beberapa negara anggota dari pada mempersiapkan sistem manajerial baru bagi Euro untuk diberlakukan secara global. Oleh karena itu, Uni Eropa sendiri memang belum cukup siap untuk dinobatkan sebagai hegemon sistem moneter internasional menggantikan AS dengan Dolar yang masih begitu kuat diparcaya dunia sebagai mata uang global.

Monday, August 16, 2010

Youth, Idealism, and Violence Business

The category of youth is closely related to agent of change because of their important position and strategic role to social change. Thus, youth has a very important position in development. The important cause is actually youth idealism to deal with this role. They have many dreams about how the ideally world should be. Their ideas are often normative, but the positive things that can be understood is they dare to make a change through their intellectual activities combined with social action.
Meanwhile, when we look at contemporary development, it seems that youth problems become a very interesting topic. After the wave of reformation promoted by the youth, their function as agent of change seems to be significant. Dramatically, those changes occurred along with the freedom of expression and speech which are guaranted by a set of values namely ‘democracy’. The globalization of idea and system, not merely happened in the space of political expression and economic, but also penetrate and transform culture and social life of youth. In this context, youth actually have many aspirations in doing social control, that their aspirations through letter, speech or demonstration sometimes can influence policy maker to act. But ironically, the better changes can be held by the youth, the more problems they have to face as well especially in controlling their idealism. It dramatically causes the youth often become a target of certain group’s business. What business?
Nowadays, Indonesian youth often becomes potential target even an actor of violence business. For example, the violence action which organized by FPI many times ago and have been signalled involving young people, seem to be a very important topic to discuss. This tragedy was an irony that can explain how dillematic idealism of Indonesian youth. Ideally, youth involvement in social organizations could promote their social capital and knowledge whitin social life. However, the existing result was an indoctrination error that causes an insolent action. They might claim their action as a social religious spirit, but its implementation was out of the corridor. In other cases, for example, youth involvement in punk community or in certain gangs has often made them aggressive and offensive. In this context, youth should prevent and defend themself from an intention to act violence either toward themself (moral violence) or other people. They should not become victims even actors of this violence from a group which used to exploited and paid youth to involve in anarchism. Ironically, some young people even have very weak character that –according to Hariyanto Imadha’s term- they tend to be a ‘dogmative –passif’ citizen. Thus, all doctrin and dogma they got were accepted without critizing through intellectual ability which also important related to social values and the spirit of peace. Those actually can lead them to act brutally and immorally. Indoctrination error toward youth about how to implement values and norms causes them fanatic but ironically not supported by ability to uncover and understand the truth. Even, the truth based on theirs was relative and exclusive that something can be right recognized when it based on their faith and interests.
Then, if the phenomenon of violence businesses that utilize idealism of youth has been so creeping social life, we need to seek a mechanism of 'Youth security'. Youth security in this case include not only physical security but also protection of their life and moral from doctrinal influences which are utilized for the benefit of certain parties anarchism. What is the importance of moral protection? Of course, since morality is an essential element of the humanitarian aspect, element of social capital, and as a basis for youth character in building itself. Protection of Indonesian youth from any violence business is ultimately our responsibility because of the youth community is going to emerge the figure of the future leaders who are progressive and visionary. Let's commit!

Thursday, July 29, 2010

Membangkitkan Sektor Pertanian Indonesia


Sekitar periode 1990-an awal, kemajuan sektor pertanian cukup baik dilihat dari berhasilnya Indonesia mencapai swasembada pangan. Namun, setelah tahun 1998, seperti yang diperkirakan sebelumnya produktivitas pertanian Indonesia menurun dikarenakan jumlah angkatan kerja yang bekerja di sektor ini menurun secara absolut. Hal tersebut menyebabkan perubahan secara mendasar dalam ekonomi sosial Indonesia yang juga disebabkan banyaknya muncul sektor-sektor non pertanian. Akankah pertanian yang menjadi basis perekonomian Indonesia sejak awal harus terabaikan dan tertinggal dari sektor-sektor yang lain? Apakah pertumbuhan sector non-pertanian yang akan mengubah secara fundamental perekonomian bangsa diperlukan bagi negara berkembang seperti Indonesia ?
Sektor pertanian yang dahulu menjadi basis ekonomi bangsa saat ini mulai tertinggal dengan semakin meningkatnya sektor-sektor lain. Hal tersebut berkenaan dengan meningkatnya produktivitas masing-masing sektor yang tidak imbang dan kecenderungan lebih tingginya produktivitas sektor non pertanian sehingga terjadi kesenjangan bagi masyarakat yang bekerja pada masing-masing sektor. Sumitro Djojohadikusumo -dalam bukunya Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan-menyatakan bahwa produktivitas rata-rata dan modal per tenaga kerja di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan produktivitas rata-rata dan modal per tenaga kerja di luar sektor pertanian. Pertumbuhan sektor non pertanian menyebabkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian yang beralih ke sektor tersebut. Berkurangnya angkatan kerja di sektor pertanian secara absolut akan berdampak pada struktur produksi nasional yang berasal dari sektor ini. Maka, untuk dapat bersaing mengimbangi menjamurnya sektor non pertanian, perlu adanya peningkatan produktivitas dan sekali lagi menyangkut pemberdayaan tenaga kerja.
Pada dasarnya terdapat suatu korelasi antara sektor pertanian dan non pertanian. Namun dinamika pengaruh yang terjadi lebih banyak berawal dari sektor pertanian. Apabila tenaga kerja dalam sektor pertanian meningkat, maka pendapatan mereka akan mengalami peningkatan yang relatif besar sehingga meningkatkan konsumsi mereka yang sebagian berasal dari sektor non pertanian (Djojohadikusumo,1987:526). Maka agar korelasi tersebut menjadi korelasi yang positif, harus ada keseimbangan antar kedua sektor sehingga sektor pertanian tidak tertinggal dan bisa tetap menjadi basis ekonomi bangsa.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya keseimbangan tersebut. Pertama, perlunya mobilisasi tenaga kerja antar sektor pertanian dan sektor non pertanian. Ada suatu perbedan mendasar antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Mengutip Clifford Geertz, pada sektor pertanian terjadi agricultural involusion sehingga hal ini cenderung menjadikan ekonomi pertanian tidak produktif. Berapapun banyaknya tenaga kerja masih bisa diserap oleh sektor pertanian karena banyaknya bagian pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian yang tidak bisa hanya dilakukan oleh beberapa orang. Namun justru hal tersebut bagi pengamat Barat dianggap tidak efisien karena pekerjaan yang seharusnya cukup dikerjakan oleh beberapa orang justu dibagi dengan orang lain. Di sisi lain, sektor non pertanian mempunyai daya tampung tenaga kerja yang terbatas jika sektor tersebut tidak mengalami pertumbuhan. Maka, keseimbangan kedua sektor diperlukan agar mempermudah mobilisasi tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran yang mungkin terjadi dan pertumbuhan ekonomi dari kedua sektor bisa seimbang.
Kedua, jika produktivitas dalam sektor non pertanian jauh melebihi produktivitas sektor non pertanian, maka akan memperbesar jurang antara tingkat kesejahteraan antara kedua sektor sehingga tidak sesuai dengan keadilan sosial (Djojohadikusumo,1987:528). Jika ada keadaan yang balance antara kedua sektor maka pemerataan dan pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai sehingga menciptakan stabilitas nasional.
Upaya untuk membangkitkan kembali sektor pertanian Indonesia tentunya tidak mudah dan perlu kerjasama antara beberapa pihak baik pemerintah dan dari kalangan masyarakat. Hal tersebut dapat tercapai melalui beberapa langkah antara lain : Pembiayaan pembangunan dan investasi, peningkatan ekspor terutama komoditi pertanian, pemberian subsidi bagi para petani, memberikan kemudahan modal dan kredit bagi para petani, peningkatan hasil pertanian sehingga meningkatkan konsumsi dari rumah tangga non pertanian, peningkatan pemasaran (produk pertanian), pembangunan pertanian pada daerah tertinggal dan pemerataan tenaga kerja, melalui pembinaan sumber daya manusia melalui penyuluhan pertanian dan pendidikan tentang metode dan teknologi pertanian yang modern, serta peningkatan fungsi dan kinerja koperasi sebagai sokoguru ekonomi terutama untuk menunjang peningkatan produktivitas pertanian.

Monday, June 21, 2010

Dilema Perempuan dalam Praktik Pertanian di Zaire

Pendahuluan
Seiring berkembangnya diskursus Women in Development (WID), posisi perempuan dalam pembangunan pun perlahan mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dalam beberapa dekade, diskriminasi gender dalam kultur bekerja telah menyentuh ranah paling inklusif dari perempuan yaitu tidak hanya pembagian kerja dalam rumah tangga, tetapi juga pada sektor-sektor ekonomi lainnya yang melibatkan perempuan. Hal tersebut sebagian besar terjadi di negara Dunia Ketiga yang disebabkan oleh kombinasi yang sangat kompleks meliputi aspek kultural, personal, hingga struktural. Secara kultural budaya patriarki yang masih kuat dianut oleh sebagian besar masyarakat Dunia Ketiga menyebabkan posisi perempuan dalam ekonomi cenderung termarjinalisasi karena aktivitas ekonomi cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Di sisi lain, secara personal posisi perempuan dalam ekonomi tidak lantas selalu menaikkan taraf hidup mereka dan keluarga karena kurangnya ketrampilan dan rendahnya tingkat pengetahuan menyebabkan mereka cenderung tertinggal dan tidak cukup kompeten untuk meningkatkan produktivitas. Selanjutnya, struktur dan sistem ekonomi modern yang dipraktikkan di sebuah negara terkadang tidak cukup gender wise bagi perempuan untuk terlibat secara aktif di dalamnya karena tidak ada jaminan regulasi terkait pemenuhan hak-hak perempuan.
Dilema yang dihadapi perempuan tersebut salah satunya dapat dilihat dalam pengalaman negara-negara Afrika. Kegagalan sebagian besar negara Afrika untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri disebabkan oleh adanya bias gender dalam aktivitas pertanian di sebagian besar wilayah. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan di dunia bekerja di sektor pertanian, dan di Afrika hampir tiga perempat dari keseluruhan perempuan menanam tanaman pangan dunia. Dalam sejarahnya, kultur patriarki yang begitu kuat dianut masyarakat Afrika telah menelusup ke dalam aspek ekonomi para petani. Awalnya masyarakat meyakini bahwa petani laki-laki wajib menyediakan makanan bagi istri dan anak-anaknya. Namun dalam praktiknya, karena tantangan krisis pangan dan tuntutan untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, perempuan pun secara sadar melibatkan diri dalam aktivitas produksi pangan tersebut. Keterlibatan perempuan dalam produksi pangan ternyata mendapat tantangan dan hambatan yang cukup serius manakala harus menghadapi modernisasi industri pertanian. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi di Zaire ketika modernisasi perlahan menggerus kultur pertanian tradisional masyarakat melalui alih teknologi. Selain itu, penggunaan bahan kimia dan varietas unggul dalam praktik pertanian turut menyumbang kesulitan bagi petani perempuan yang tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli barang-barang tersebut sehingga pertanian mereka masih tertinggal jika dibandingkan dengan pihak yang memiliki cukup modal yang sebagian besar adalah laki-laki. Bagi sebagian besar perempuan Zaire yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk menggunakan instrumen modern tersebut, mereka cenderung akan mempertahankan praktik pertanian tradisional dan hasilnya produktvitas semakin sulit dicapai.
Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan ini akan mencoba menganalisis mengapa petani perempuan semakin termarjinalkan ketika menghadapi modernisasi pertanian dan pembangunan dalam upaya transformasi kultur pertanian di Zaire.

Perempuan dan Pertanian di Zaire
Seperti sebagian besar negara Afrika pada umumnya, terdapat suatu kecenderungan di Zaire dimana kultur pertanian merupakan bagian dari perekonomian subsistensi. Secara sederhana, subsistensi dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk menopang ekonomi sebuah komunitas dengan cara yang relatif mandiri dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kultur ini bagi sebagian analis ortodoks dianggap identik dengan kemiskinan karena perekonomian yang dijalankan secara subsisten dalam sebuah sistem tradisional tidak mampu menghasilkan nilai surplus. Ironisnya, kultur pertanian subsistensi tersebut justru di dominasi oleh perempuan sebagai aktor yang paling aktif. Meskipun perempuan Zaire menghadapi banyak tantangan permasalahan ekonomi, sosial, dan hukum, namun mereka justru merupakan tenaga kerja yang paling aktif di pertanian. Bahkan sebuah laporan menyatakan bahwa petani perempuan Zaire bekerja dalam durasi waktu yang sama dengan laki-laki di negara tersebut. Sebagian besar perempuan Afrika termasuk di Zaire bertani secara independen karena adanya tuntutan dari diri pribadi untuk tidak bersandar secara ekonomi kepada suami dan keluarganya tetapi harus mengupayakan dan memberdayakan dirinya secara mandiri dalam pekerjaan. Ironisnya kerja pertanian perempuan di Zaire tidak tersentuh oleh modernisasi sehingga adanya inovasi teknologi dan transfer pengetahuan tidak lantas meningkatkan produktivitas pertanian perempuan. Sebagian besar petani perempuan Zaire masih mempertahankan praktik pertanian tradisional dengan mengandalkan tenaga dan tangan mereka sendiri untuk mengerjakan aktivitas bercocok tanam dan memanen tanaman.
Dalam waktu yang cukup lama, secara substansial perempuan menempati dan menjalankan peran kedua dalam ekonomi meskipun secara kuantitas mereka menjalankan peran utama dalam praktik pertanian di Zaire. Sebagian mereka adalah buruh pertanian dan pedagang kecil yang menjual dagangannya terbatas pada wilayah tertentu karena secara eksklusif mereka memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga. Pembangunan pertanian memang telah sering dilakukan di Afrika melalui pengenalan teknologi, pupuk kimia, maupun varietas tanaman, namun hal tersebut sebagian besar ditujukan pada tanaman yang mampu diperjualbelikan seperti kopi, beras, kapas, dan hasil peternakan. Di Zaire, sebagian besar petani perempuan menanam tanaman umbi-umbian untuk kebutuhan lokal dan keluarga secara tradisional tanpa ada inovasi dan komodifikasi tanaman tersebut untuk diperjualbelikan. Kebutuhan peningkatan produksi pangan di Zaire menuntut diterapkannya sejumlah inovasi dan modernisasi dalam pertanian karena kultur pertanian tradisional dianggap tidak efektif dan kurang produktif. Maka untuk mengatasi masalah tersebut, melalui proyek pembangunan dikenalkan varitas baru singkong yaitu F100 dan penggunaan traktor keledai. Kedua bentuk modernisasi pertanian tersebut memberikan dilemma bagi petani perempuan Zaire yang tidak cukup memiliki pengetahuan dan skill untuk menerapkannya. Hal ini mempertimbangkan laporan PBB, bahwa selama decade 90-an perempuan di Zaire hanya menikmati sepertiga fasilitas pendidikan yang diberikan kepada laki-laki. Jadi, produktivitas pertanian di Zaire tidak dapat ditingkatkan secara substansial, oleh perempuan atau untuk mengurangi kemiskinan desa selama kultur patriarki masih menelusup dalam budaya bercocok tanam dan implementasi kebijakan pembangunan pertanian yang dicanangkan pemerintah serta praktik pertanian jauh dari gender wise.

Perjuangan Ketahanan Pangan dalam Kerangka Feminisme
Fenomena marginalisasi dan pemiskinan petani perempuan di Zaire setidaknya dapat dianalisis melalui pemikiran feminisme radikal. Meskipun telah ada proyek bantuan pembangunan dari PBB, namun pencapaiannya tidak begitu signifikan karena presentase alokasi dana untuk menunjang program bagi perempuan desa sangat minim. Misalnya pada tahun 1982, hanya 0,05% dari seluruh alokasi PBB yang diperuntukkan untuk program bagi perempuan desa dan bahkan hanya 15 persen dari perempuan yang dapat terdaftar dalam kursus pertanian di Afrika (Mosse,1996:165). Selain itu, dana yang lebih besar dialokasikan untuk pertanian dengan teknologi tinggi sehingga tidak mengherankan jika inovasi teknologi dan penggunaan varietas benih pun kurang efektif bagi perempuan karena tidak ada dukungan human capital yang cukup memadai.
Ann Whitehead mengamati hal tersebut sebagai diskriminasi secara sistemik bagi perempuan. Inovasi pertanian Zaire melalui pengenalan varietas singkong F100 dan penggunaan traktir keledai meskipun di satu sisi memberikan keuntungan dan kerugian, namun di sisi lain menunjukkan bias gender dalam pengaruhnya. Misalnya dalam pengenalan varietas singkong F100 yang telah diperbarui dianggap kurang mempertimbangkan pola kerja perempuan bahkan justru semakin menambah beban kerja mereka. Berbeda dengan tanaman singkong tradisional yang mampu bertahan lama di tanah, varietas baru tersebut cenderung tidak dapat dimakan jika tertinggal di dalam tanah sehingga kurang efektif untuk mengatasi kelangkaan pangan yang rentan terjadi di Zaire. Selanjutnya, penggunaan traktor keledai awalnya diharapkan mampu menarik jumlah tenaga kerja laki-laki lebih banyak karena menyiapkan lahan untuk pertanian adalah domain kerja petani laki-laki. Namun yang terjadi sebaliknya, dalam kondisi yang tidak memungkinkan terjadinya hal tersebut, di beberapa tempat perempuan harus menggarapnya sendiri bahkan tidak jarang kegiatan tersebut dilakukan di lahan yang cukup luas sehingga sangat menguras tenaga petani perempuan.
Dapat dikatakan, petani perempuan di Zaire cenderung termarginalkan dikarenakan beberapa sebab kultural dan sistemik. Pertama, ketika era pertanian tradisional, perempuan Zaire termarginalkan karena adanya dikotomi kultural dalam pembagian kerja yang tidak efektif antara laki-laki dan perempuan dimana kerja perempuan cenderung dispesialisasikan pada ranah-ranah yang sangat domestik yaitu bertani untuk mencukupi kebutuhan komunitas dan keluarga. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan pendapatan dan kemakmuran antara laki-laki dan perempuan, karena para laki-laki dapat meningkatkan produktivitas secara lebih dengan bekerja di sector-sektor industri dan komersial. Hal ini begitu ironis, karena keinginan kuat perempuan untuk memperjuangkan ketahanan pangan lokal dengan tidak selalu tergantung secara ekonomi pada suami, justru membuat posisi marginal mereka semakin dilematis karena upaya pertanian tradisional (subsistensi) tidak mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan.
Kedua, pembangunan nasional di bidang pertanian seolah masih diskriminatif karena modernisasi masih menyebabkan ketimpangan akses pada kepemilikan tanah, perolehan kredit, penguasaan teknologi, pemasaran hasil pertanian, dan pelatihan pertanian modern yang selanjutnya membentuk power gap berdasarkan gender. Faktor modal yang disebutkan di atas sebagian besar didominasi oleh petani laki-laki karena secara legal formal masih terdapat kultur patriarki yang menyertai prosedur ijin kepemilikan dan penggunaan fasilitas tersebut.
Solusi yang dapat diupayakan untuk mengatasi paradoks pembangunan tersebut adalah peningkatan pengetahuan perempuan itu sendiri dan revitalisasi peran organisasi sosial karena dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup tinggi mereka akan memiliki power tidak hanya untuk melakukan pekerjaan mereka secara lebih efektif tetapi untuk mendorong adanya inovasi-inovasi dalam pertanian. Selanjutnya, dalam mekanisme pertanian yang lebih modern ini, seharusnya terdapat pembagian kerja yang gender wise antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki menjalankan tugas dalam fungsi peningkatan pendapatan melalui pemasaran yang lebih luas dan modern serta pelaksanaan kerja yang disesuaikan dengan kemampuannya dengan alat pertanian modern, sedangkan perempuan melakukan fungsi manajemen aktivitas ekonomi dan konsumsi keluarga. Hal tersebut menunjukkan bagaimana pembagian kerja yang gender wise dapat meningkatkan produktivitas komunitas. Selain itu, perlu adanya regulasi dari pemerintah untuk menjamin keamanan ekonomi dan hak-hak perempuan sebagai apresiasi atas kontribusi mereka dalam pertanian. Tentunya harus ada kerjasama antara semua pihak laki-laki, perempuan, pemerintah, dan organisasi sosial masyarakat.

Kesimpulan
Posisi dan peran perempuan dalam pertanian di Zaire dapat dijadikan inspirasi bagaimana menyikapi diskursus Women in Development (WID) secara gender wise. Dalam hal ini, modernisasi dalam pembangunan pertanian secara ideal penting untuk meningkatkan produktivitas. Namun dalam praktiknya tidak lantas selalu memaksa perempuan untuk mengambilalih pekerjaan berat yang sebenarnya merupakan domain kaum laki-laki. Maka, kebijakan pembangunan yang dijalankan seharusnya tidak cenderung bias gender, yaitu dimana pembagian kerja harus adil, dan menekankan pada peningkatan pengetahuan sebagai modal untuk memperoleh power.
Modernisasi yang sebagian besar merupakan proyek kaum liberal justru menimbulkan dilema dalam penyesuaian kultur dan sumber daya karena jika hal tersebut efektif diterapkan di negara barat tidak lantas akan efektif pula jika diterapkan di Zaire. Maka, emansipasi dan proyek keadilan gender harus disesuaikan dengan kultur setempat yaitu dengan gender wise. Tidak hanya menerima generalisasi sugesti kaum liberal bahwa perempuan harus selalu berpartisipasi dan mengambilalih proses modernisasi karena jika tidak diimbangi dengan kemampuan personal yang memadai dan jaminan regulasi yang gender wise, maka kesetaraan gender tidak dapat dicapai secara efektif.
Selain itu, pendekatan yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up) bertujuan membangun perempuan secara personal dalam arti kemandirian dan kekuatan internal untuk menstranformasikan struktur yang bertentangan dan menghambat mereka mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Dapat dikatakan, pendekatan ini dianggap lebih efektf namun efektivitasnya akan sia-sia jika tidak disokong oleh regulasi dan kebijakan yang bersifat top-down sehingga dapat bersinergi.

Sunday, June 6, 2010

Perspektif dalam Teori Feminism

Pada umumnya feminisme diidentikan dengan gerakan kebangkitan dan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum perempuan akibat penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-aki. Namun kenyataannya ada banyak perspektif yang mampu menjelaskan dimensi lain dari munculnya gerakan feminism tersebut. Beberapa ilmuwan telah membagi feminism ini berdasarkan ide-ide yang dibawa yang dipengaruhi oleh sistem sosial yang mereka jadikan alasan dan acuan dalam pergerakannya.
Pertama, feminisme liberal yang memberikan kritik terhadap sistem sosial yang mengakibatkan perlakuan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini menuntut diakuinya kesamaan hak bagi perempuan sebagai individu yang punya kebebasan. Feminist liberal menyatakan bahwa perlakuan perlakuan yang tidak sama itu juga disebabkan oleh woman nature. Seperti manusia pada umumnya, sudah seharusnya perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki sehingga kaum perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Penindasan yang dialami oeh perempuan dianggap sebagai akibat kelemahan mereka sendiri. Dalam hal ini DR. Mansour Fakih (2008) menyatakan bahwa feminist liberal melihat persoalan kaum perempuan tidak hanya melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Kelompok ini tidak pernah mempertanyakan diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan sebagai akibat ideologi patriarki maupun struktur kelas. Bagi feminist liberal perjuangan perempuan berakar bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) sehingga kerangka kerja gerakan ini adalah untuk memperjuangkan masalah terkait ‘kesempatan yang sama bagi setiap individu’ termasuk didalamnya para kaum perempuan.
Kelompok kedua yaitu feminist Radikal. Feminist radikal melihat bahwa akar penindasan kaum perempuan oleh laki-laki berasal dari perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki serta ideology patriarki. Menurut Eisenstein kelompok ini memandang bahwa patriarki (the rule of father) adalah dasar dari ideology penindasan kaum perempuan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki power yang superior dan privilege ekonomi sehingga perlu adanya revolusi dan perlawanan (Fakih, 2008:85). Jill Steans (1998) menambahkan bahwa feminist radikal ini mengartikulasikan bahwa personal is political sehingga menurut perspektif ini pembebasan perempuan tidak hanya meliputi pencapaian kesamaan dalam hak, akses pubik, dan alat-alat produksi, namun juga melalui transformasi ranah yang paling privat dalam hubungan antar manusia.
Selanjutnya, kelompok ketiga adalah feminist Marxis. Kelompok ini berargumen bahwa permasalahan perempuan adalah hasil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang ada kaitannya dengan sistem kapitalisme. Maka, gerakan feminist Marxis ini adalah perjuangan kelas melawan struktur yang terbentuk oleh kapitalisme. Kelompok ini meyakini bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi sehingga dikatakan hubungan antara laki-laki dan perempuan sama halnya dengan hubungan antara borjuis dan proletar (Fakih, 2008:86). Bagi kaum feminist Marxis, sistem kapitalisme menjadikan laki-laki sebagai penguasa capital dan pemilik property utama sehingga power mereka lebih besar dalam produksi. Sedangkan di sisi lain, perempuan hanya dipekerjakan sebagai buruh yang dibayar murah sehingga cenderung mengeksploitasi perempuan dan menguntungkan bagi pemilik capital dalam hal ini kaum laki-laki. Penindasan perempuan dianggap sebagai kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat structural sehingga penyelesainnya juga harus bersifat structural yaitu melalui revolusi struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme.
Kelompok selanjutnya adalah feminist sosialis yang mencoba mengombinasikan ide-ide materialis feminist Marxis dengan konsepsi personal is political dari feminist radikal. Kelompok ini menegaskan bahwa penindasan perempuan disebabkan oleh sistem patriarki maupun sistem kapitalisme. Dalam hal ini kapitalisme dianggap sebagai struktur material yang secara historis menjadi sumber mode of production, sedangkan patriarki merupakan struktur material dari reproduksi (Steans, 1998:21). Penindasan perempuan dapat terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi kelas tidak menjamin meningkatnya status kaum perempuan dan ketidakadilan bukan karena perbedaan bioogis laki-laki dan perempuan, tetapi lebih pada ketidakadilan gender yang dikonstruksi secara sosial. Maka focus gerakan feminist sosialis adalah untuk memerangi konstruksi visi dan ideology masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender (Fakih, 2008:93).
Berdasarkan analisis di atas, dapat dikatakan bahwa apapun perspektif yang digunakan sebagai dasar gerakan feminism, setidaknya semuanya sangat berguna untuk memperkaya konsepsi dan alat analisis gender sehingga tidak hanya terfokus pada woman nature namun juga sistem dan struktur untuk memecahkan permasalahan sosial secara bersama-sama dengan gerakan lain.

Sumber bacaan :
Fakih, Mansour.2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Steans, Jill.1998. Gender and International Relation. Cambridge : Polity Press.

Wednesday, March 3, 2010

Dilema Partai Islam dalam Demokrasi di Indonesia

Keterlibatan islam dalam politik Indonesia selama ini ternyata menyajikan wacana yang cukup menarik terkait kesulitan dan kegagalan partai-partai islam untuk menempati posisi tertinggi dalam demokrasi. Hal tersebut dapat diamati dari dinamika perolehan suara partai-partai islam dalam perjalanan pemilu Indonesia sejak tahun 1955 sampai dengan 2009 ini. Dalam Pemilu 1955 misalnya, gabungan suara Masyumi dan NU saja mencapai 39% lebih yang notabene mampu mengungguli PNI (pemenang Pemilu 1955) yang memperoleh sekitar 22% suara (http://www.jakartabeat.net). Namun sebagaimana diketahui, Masyumi dan NU (meskipun sama-sama partai islam) sejak awal sudah terpisah secara ideologis sehingga keduanya hanya mampu menempati posisi kedua dan ketiga dalam pemilu. Selanjutnya, dalam pemilu orde baru justru keberadaan partai islam ini juga tidak mampu mencapai perolehan suara terbanyak karena sistem yang ada telah menobatkan partai Golkar sebagai partai yang dominan. Kemenangan Golkar dalam waktu yang cukup lama ini menjadi mesin politik Suharto, penguasa rezim saat itu, untuk tetap mempertahankan bahkan memperkuat power-nya. Kecenderungannya keberadaan partai lain yang turut serta dalam pemilu seakan-akan hanya sebagai penggembira pesta demokrasi supaya partai Golkar tidak tampak sebagai single fighter yang dengan mudah memenangkan pemilu. Bahkan pasca reformasi pun, posisi partai islam dalam pemilu tidak juga memberikan perubahan yang cukup signifikan. Malahan dalam pemilu terakhir tahun 2009 ini, posisi dan prestasi partai-partai islam semakin menurun meskipun banyak didirikan partai islam baru baik yang mengusung revitalisasi ideologi partai atau pun hanya sebagai pelarian para elit partai dari perpecahan internalnya.
Dinamika perjuangan partai islam sejak awal perpolitikan Indonesia di atas dapat menjadi refleksi untuk menjelaskan tentang betapa beratnya kompetisi yang dihadapi partai islam dalam pemilu akhir-akhir ini. Fenomena deideologisasi kepartaian menjadikan partai-partai islam semakin ‘canggung’ seperti kehilangan idealisme politik yang dibawanya sejak awal. Persaingan yang semakin berat dengan partai-partai sekuler yang bersifat nasionalis dan pragmatis menjadikan partai-partai islam menggerakkan haluan politiknya lebih ke tengah sehingga memunculkan suatu stereotipe baru bertajuk ‘partai nasionalis-relijius’. Ironisnya, atas nama persaingan untuk memperjuangkan kepentingan islam, beberapa elit partai islam rela kehilangan ‘muka’ dengan bersikap tidak konsisten dan sering terlibat konflik politik secara internal hingga menimbulkan perpecahan menjadi partai baru.
Maka selanjutnya perlu kita tinjau kembali, mengapa pembentukan partai-partai islam di Indonesia justru gagal menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan? Apakah pertentangan ideologis (islam vis-à-vis demokrasi) mampu menjelaskan lemahnya kekuatan partai islam dalam pesta demokrasi kontemporer di Indonesia?

Partai-partai Islam dalam pemilu :dilematis
Perjalanan politik partai islam dalam pemilu 2009 dapat dikatakan semakin menurun serta menimbulkan kekecewaan dan keengganan bagi sebagian umat islam untuk mengafiliasikan kepentingannya di partai tersebut. Data KPU menyebutkan bahwa dalam pemilu 2009 lalu hanya 4 (empat) partai islam dari 9 (sembilan) partai yang mencapai perolehan suara diatas dua setengah persen dengan spesifikasi perolehan suara : PKS memperoleh 7,88% atau sekitar 8.206.955 suara (menempati posisi keempat), PAN (partai nasionalis namun identik dengan basis pendukung islam) memperoleh 6,01% atau sekitar 6.254.580 suara (menempati posisi kelima), PPP memperoleh 5,32% atau sekitar 5.533.214 suara (menempati posisi keenam), sedangkan PKB menempati posisi ketujuh memperoleh 4,94% atau sekitar 5.146.122 suara (http://www.detiknews.com/jumlahsuara). Hasil pemilu 2009 menggambarkan bahwa posisi dan kekuatan partai islam cenderung lemah dalam kompetisi demokrasi di Indonesia. Analoginya jika mayoritas penduduk Indonesia muslim, seharusnya partai islam bisa meraih simpati dan dukungan lebih banyak. Namun yang terjadi sebaliknya banyak pihak yang beralih ke partai-partai dengan ideologi yang lebih universal. Maka selanjutnya partai-partai islam menerapkan strategi baru untuk mempertahankan eksistensinya dan untuk mengakomodasi kelemahannya dalam kompetisi politik. Pola yang dapat kita amati dalam politik kontemporer saat ini merupakan suatu kecenderungan adanya politik kartel, meminjam istilah Kuskridho Ambardi, dimana partai-partai lebih cenderung mengalami deideologisasi dan membangun koalisi dengan alasan-alasan pragmatis dan kepentingan jangka pendek. Namun, manakala partai-partai islam mencoba menanggalkan eksklusifisme ideologinya untuk lebih bergerak dan merapat ke ideologi jalan tengah demokrasi, yang terjadi justru mereka kehilangan pendukungnya.
Lantas, beberapa orang pun membenarkan pendapat para ilmuwan politik barat bahwa kesulitan kelompok atau pun partai islam untuk menduduki posisi terdepan dalam kompetisi demokrasi disebabkan oleh perbedaan aspek ideologis dan budaya politik. Para ilmuwan politik dan ahli tentang masyarakat muslim berargumen bahwa islam dan demokrasi pada dasarnya merupakan dua hal yang bertentangan dan tidak saling toleransi. Salah satunya Samuel Huntington yang mengusung istilah clash of civilization dalam bukunya The Third Wave (1997). Bagi mereka yang fanatic dengan Huntington, kemungkinan akan menyimpulkan bahwa fenomena perpecahan suara partai islam serta melemahnya kekuatan partai islam dalam kompetisi demokrasi disebabkan oleh pertentangan dari sisi ideologis. Kelompok ini akan berpendapat, keberadaan partai islam (yang ideologi islamnya masih kuat) di negara yang menerapkan demokrasi hampir menyerupai barat (yang identik dengan sekulerisme), tidak akan mampu mendominasi dan mengakomodasi kepentingan kelompoknya karena secara natural islam dan demokrasi seperti air dan minyak. Elemen keduanya tidak akan dapat disatukan, namun masih ada harapan untuk saling menginfiltrasi satu sama lain meskipun akan banyak menemui konflik dan dilema.
Namun penulis berpendapat, penggunaan sudut pandang Huntington di atas tidak begitu tepat untuk menjelaskan lemahnya posisi partai islam dalam demokrasi. Dalam hal ini perlu dicoba analisis secara stuktural dan fungsional sebagai perbandingan analisis aspek ideologis untuk menjelaskan melemahnya kekuatan partai islam dalam demokrasi kontemporer. Secara umum, fenomena perpecahan partai islam yang terjadi akhir-akhir ini dapat kita amati melalui beberapa alur pemikiran.
Pertama, adanya fragmentasi umat islam dalam berbagai partai dengan perbedaan kepentingan visi dan misi justru melemahkan posisi dan kekuatan suara mereka dalam politik. Dalam hal ini, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, seorang ulama India, berargumen bahwa munculnya banyak partai di negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara islam republik, ternyata akan memunculkan suatu pesimistis bahwa tidak akan terjadi perpecahan antar umat islam (Syafiyurrahman,2008:35). Argumen di atas didasari pengamatannya di beberapa negara seperti India dan Pakistan. Begitu pula di Indonesia, partai islam yang seharusnya mampu menjadi kendaraan politik serta kekuatan kelompok islam untuk mewujudkan kepentingannya menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi ini, justru menjadi pemicu konflik. Tidak mungkin didalamnya sepi dari perselisihan mengingat masing-masing partai islam saling berlomba dan berambisi untuk meraih posisi tertinggi dalam demokrasi. Dengan berbagai cara semua partai tersebut berkompetisi dan saling menjatuhkan satu sama lain dengan sama-sama mengusung janji pembaharuan yang berbeda. Sebagai contohnya, ketika pemilu 2009 terjadi perpecahan dalam tubuh PAN (Partai Amanat Nasional) menjadi PMB (Partai Matahari Bangsa) maupun yang terjadi antara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PKNU. Masing-masing partai islam pandai membuat retorika untuk mengunggulkan partainya dan menjatuhkan partai lain. Masyarakat dibuat bingung untuk menentukan kembali pilihannya, apakah tetap pada partai lama ataukah partai baru yang lebih progresif. Maka hal tersebut menjadi kesempatan bagi partai lain untuk merebut simpati pendukung partai-partai islam yang sudah kehilangan kepercayaan pendukungnya. Hal tersebut terbukti ternyata dalam pemilu 2009, partai islam tidak mampu menembus posisi tiga besar.
Kedua, sebagian partai islam mengalami penurunan character dan penyimpangan komitmen awal untuk menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik. Hal ini bisa kita amati dari perilaku para elite partai-partai tersebut yang cenderung inconsistent, kurang percaya diri, dan kehilangan trust terhadap konstituennya.
Dalam hal ini Prof. Dr. Miriam Budiarjo (2008) berpendapat bahwa penguatan fungsi pendidikan serta sosialisasi politik bagi suatu partai penting untuk meraih banyak dukungan yang mempunyai loyalitas dan solidaritas yang kuat terhadap kepentingan nasional. Namun, adakalanya loyalitas yang diajarkan justru loyalitas terhadap partai masing-masing diatas loyalitas terhadap Negara (Budiarjo, 2008:408). Atas nama demokrasi, para pengikutnya dididik untuk melihat dirinya dalam konteks yang sempit sehingga dapat mengakibatkan pengotakan dan menghambat proses integrasi. Tarik ulur kepentingan kerap menimbulkan konflik internal antar pendukung sebuah partai islam. Lantas dengan mengatasnamakan nilai-nilai demokrasi dan pemurnian asas kepartaian, pendukung yang merasa tidak sepaham lagi dengan partai yang semula didukungnya beralih ke partai lain atau mendirikan partai saingan. Perilaku elit partai islam yang sering berkonflik sesama konstituennya, terbentuknya kubu dalam satu partai, kemudian pecahnya kubu partai yang bersangkutan sehingga mendirikan partai baru sebagai saingan, ternyata semakin menjadikan citra partai tampak buruk di mata pemilih. Ini memang soal demokrasi, namun tidak selayaknya demokrasi memecah belah kekuatan kelompok islam tersebut. Maka, masyarakat telah dibuat kecewa karena secara fungsional beberapa partai islam mengalami penurunan kinerja. Muncul suatu anggapan pesimis bagi pendukung tentang prospek partai islam di masa depan karena kegagalan dalam character building.
Ketiga, meminjam argumen Abdul Gafar Karim (2009), bahwa sebagian besar partai islam masih tergantung pada figure. Figur siapa yang diunggulkan maka itulah yang akan menjadi personifikasi citra dan kinerja partai tersebut. Bagi masyarakat pada umumnya perilaku figure partai islam akan dikaitkan dengan nilai-nilai keislaman yang dibawa. Jika ada seorang atau beberapa elit partai islam yang menentang nilai-nilai tersebut dengan terlibat korupsi, kriminalitas, atau pun hal negative lainnya, secara otomatis masyarakat akan kehilangan trust pada partai yang bersangkutan. Dilema ini dapat dikatakan sebagai ‘degradasi moral elit yang berdampak pada degradasi citra partai secara keseluruhan’. Seperti dikatakan diawal meskipun beberapa partai islam telah mengklaim dirinya sebagai partai yang lebih nasionalis, namun pencitraan islam masih sangat mengakar dalam pikiran rakyat.

Prospek Partai Islam di Masa Depan
Melihat kasus yang terjadi di Indonesia, penulis sependapat dengan Saiful Mujani (2007) yang berargumen bahwa perbedaan aspek ideologis maupun budaya politik antara islam dan demokrasi barat tidak mampu menjustifikasi secara total untuk menjelaskan dilema kelompok atau pun posisi partai islam dalam kompetisi demokrasi. Menurut Saiful Mujani, jika pengamatan terhadap masyarakat muslim hanya dibatasi pada pemikiran politik, partai, dan gerakan islam kontemporer, hal tersebut dapat menjadikan penilaian tentang hubungan pertentangan antara islam dan demokrasi akurat karena islam tidak mendukung demokrasi yang identik dengan sekulerisasi politik (Mujani, 2007:51-52). Namun, pengamatan tersebut hanya didasarkan pada satu varian islam sehingga factor-faktor yang lain cenderung tidak teridentifikasi. Dalam hal ini, kita perlu memposisikan diri dan memberikan sudut pandang positif. Meskipun perpecahan partai-partai islam di Indonesia diargumenkan sebagai pemurnian nilai-nilai keislaman dan penguatan aspek ideologis partai, namun setidaknya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu kompetisi, ambisi dan perilaku elit partai yang berpengaruh terhadap aspek struktural dan fungsionalnya.
Penulis menekankan masyarakat Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terjebak dan membenarkan alur pemikiran Huntington dan pemikir liberal lainnya. Hal itu akan menimbulkan suatu persepsi negatif terhadap partai-partai islam bahkan terhadap islam sendiri. Islam dan politik tidak dapat dipisahkan artinya keduanya pun bisa saling membentuk sistem yang harmonis dalam demokrasi. Tidak seharusnya islam yang sarat dengan nilai-nilai ilahiyah dijadikan ‘kambing hitam’ untuk menjelaskan fenomena dan perilaku actor politik yang konfliktual. Begitu pula tidak seharusnya kita menyalahkan sistem demokrasi yang menjadi komitmen bersama bangsa-bangsa seluruh dunia sebagai alasan kegagalan politik kelompok islam di Indonesia.
Penulis yakin bahwa prospek dan harapan bagi partai islam untuk menguatkan posisi dan kekuatannya dalam demokrasi masa depan akan tetap ada jika masyarakat dan elit politik membangun optimisme bersama. Jika ingin tetap survive dalam kompetisi demokrasi di Indonesia sudah selayaknya partai islam mulai mengevaluasi perjalanannya selama ini. Evaluasi tersebut diharapkan mampu menjadi refleksi dalam penyusunan arah dan prioritas dalam pesta demokrasi masa depan yang tentunya akan semakin sulit. Beberapa langkah di bawah ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk upaya evaluasi tersebut.
Pertama, jika partai islam ingin memenangkan demokrasi pada pemilu mendatang, maka harus mengubah strategi koalisi. Koalisi dibentuk antar partai islam bukan justru berkompetisi untuk mencari koalisi dengan partai lain. Jika mengatasnamakan kepentingan kelompok islam dalam ajang kompetisi dan demokrasi, maka seharusnya partai-partai islam beraliansi dan mensinergikan kepentingannya satu sama lain. Lantas, jika partai islam gagal dalam pemilu, partai-partai yang awalnya sering merapat ke pemerintah, dalam sekali waktu perlu mencoba untuk menjadi oposisi dengan membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet). Kabinet bayangan ini diharapkan mampu menjadi upaya checks and balances kinerja pemerintahan. Melalui kabinet bayangan tersebut partai islam dapat mensinergiskan ide-ide maupun kepentingan untuk mengangkat isu-isu yang tidak popular tapi berpotensi menjadi ‘pemantik’ dalam kampanye selanjutnya.
Selain itu, koalisi dalam cabinet ini mampu menyatukan potensi-potensi kepemimpinan umat islam di Indonesia yang selama ini masih berserakan. Masalah partai-partai islam selama ini salah satunya adalah ketiadaan figure yang cukup kharismatik, kredibel, dan kompeten untuk bertanding dalam persaingan politik yang semakin berat. Itu dapat menjadi suatu potensi mengingat masih adanya patronase yang kuat pada figure (ulama, tokoh idola, dan sebagainya) di sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika berhasil hal tersebut setidaknya dapat menjadi langkah awal membangkitkan kembali kekuatan dan kesolidan umat islam dalam kompetisi politik di Indonesia.
Kedua, meminjam pendapat Encep Azis Muslim, secara soliter masing-masing partai islam harus mampu menyusun program (platform) dan jaringan yang kuat sehingga bisa mengkover seluruh wilayah Indonesia dari Aceh sampai Papua tanpa terhalang sekat-sekat ideologis maupun masalah keagamaan. Jika aspek ideologis tak mampu menjadi modal persaingan, maka yang perlu ditingkatkan adalah strategi untuk merencanakan dan komitmen untuk mewujudkan platform partai dalam kebijakan pemerintah. Selain itu, perlu adanya komitmen untuk penguatan kualitas dan karakter masing-masing partai islam. Para elit dan pendukung partai seharusnya mampu meminimalisir dan menghindari peluang munculnya konflik internal partai demi pengembalian citra partai dan kepercayaan pemilih.

Kegagalan partai islam dalam kompetisi demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini tidak tepat dijelaskan melalui alur berpikir ala Huntington karena kendala-kendala yang bersifat structural dan fungsional ternyata lebih berpengaruh. Aspek ideologis dan pemurnian asas kepartaian hanya dijadikan sebagai alasan partai-partai tersebut untuk berkompetisi. Kita perlu memandang positif segala permasalahan diatas karena pasti akan ada banyak harapan bagi islam untuk tetap menjadi kekuatan politik dalam persaingan demokrasi masa depan. Namun sebaliknya, persepsi negative justru menimbulkan sikap kecewa, egosentris, dan fanatisme golongan tertentu yang kemudian menyebabkan terpecahnya kekuatan partai islam sendiri dan hal tersebut justru menjadi kelemahan politik dalam kompetisi demokrasi di Indonesia.

Referensi
Al Mubarakfuri, Shafiyurrahman.(2008).Islam dan Politik. Jakarta:Pustaka At Tazkia.
Budiarjo, Miriam.Pengantar Ilmu Politik.(2008).Jakarta : PT. Gramedia.
Mujani, Saiful.(2007). Muslim Demokrat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Abdul Gaffar Karim, Mengecilnya Perolehan Suara Partai Islam, 11 April 2009,
191:mengecilnya-perolehan-suara-partai-islam&catid=43:artikel&Itemid=77>
Encep Azis Muslim, Prospek Partai Nasionalis Relijius Semakin Cerah, 15 Desember
2009, .
Komisi Pemilihan Umum Indonesia, Hasil Pemilu 2009, detiknews 12 Mei 2009,

Thursday, January 14, 2010

Analisis Pemikiran Politik Lee Kuan Yew : Hubungan Strategis Antara Otoriterisme, Demokrasi, dan Kebijakan Pembangunan

Oleh : Defirentia One Muharomah

Pendahuluan
"I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy.
The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct,
which are inimical to development."
-Lee Kuan Yew-


Lee Kuan Yew, seorang elite Partai Aksi Rakyat (PAP), sejak awal telah memegang kepemimpinan Singapura jauh sebelum negeri tersebut memutuskan untuk melepaskan diri dari federasi Malaya. Pasca pemisahan diri Singapura dari federasi Malaya pada tahun 1965, Lee mengendalikan kemudi pemerintahan city state tersebut atas dasar kepercayaan rakyat dan dukungan para elit mengingat prestasi Lee begitu besar dalam kemerdekaan Singapura. Lee kembali terpilih menjadi perdana menteri untuk ketujuh kalinya berturut-turut dalam kondisi Singapura yang bercondong kepada demokrasi terbatas (1963, 1968, 1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988), hingga pengunduran dirinya pada November 1990 kemudian menjabat sebagai Menteri Senior pada kabinet Goh Chok Tong. Selama menjabat sebagai perdana menteri, pemerintahan Lee Kuan Yew cenderung otoriter, elitis, dan dianggap tidak demokratis. Namun meskipun demikian, selama masa kepemimpinan Lee sepanjang tiga dasawarsa, Singapura berkembang dari negara golongan dunia ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, walaupun mempunyai sedikit penduduk dan minimnya sumber daya alam. Menurut keyakinannya, Singapura akan tetap maju meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, karena kunci dibalik kemajuan Singapura adalah kemauan dan tekat penduduknya. Dari poin tersebut dapat dikatakan, bahwa keyakinan politik seorang Lee Kuan Yew ternyata berpengaruh pada rakyat dan rekan-rekan politiknya untuk membangun Singapura yang lebih maju. Dengan kata lain, banyak pihak yang menerima dan mendukung pemerintahan yang otoriter tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang cukup menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut adalah bagaimana Lee Kuan Yew mengonstruksikan strategi awal pembangunan Singapura di tengah pilihan antara otoriterisme dan demokrasi.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas dan menganalisis tentang pemikiran politik Lee Kuan Yew serta pengaruhnya terhadap pola dan prioritas sistem politik yang dijalankan di Singapura yang pada akhirnya dapat menjelaskan tentang munculnya otoriterisme di negara tersebut. Dalam pembahasan hal-hal diatas, penulis menggunakan pendekatan dan sudut pandang individu yaitu Lee Kuan Yew sebagai actor penting dalam perpolitikan Singapura. Penulis mempertimbangkan bahwa sebagian besar pola politik di suatu negara tentu akan dipengaruhi pemikiran dan perilaku politik pemimpinnya. Hal ini didasari oleh pernyataan Henry Kissinger seperti yang dikutip oleh Prof.Dr.Mohtar Mas’oed, bahwa alasan melihat perilaku negara dari individu pembuat keputusan yaitu karena merekalah yang mendefinisikan tujuan, memilih alternatif tindakan untuk mencapai dan memanfaatkan kemampuan nasional untuk mencapai tujuan tersebut atas nama negara sehingga yang perlu dipelajari adalah bagaimana ideologi, motivasi, ideal, persepsi, nilai, sikap, perilaku, dan kebiasaan para individu yang berwenang untuk membuat keputusan atas nama negara.

Pemikiran Politik Lee Kuan Yew
Sebagai salah satu aktor penting dalam perpolitikan Singapura, Lee Kuan Yew memiliki beberapa pemikiran politik yang cukup unik yang berpengaruh terhadap perilaku kepemimpinannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, terkait masalah keterbatasan Singapura di awal kemerdekaannya, Lee menanggapi dengan cukup optimis bahwa kemajuan Singapura akan sangat ditentukan oleh kemauan dan komitmen rakyatnya. Sejak saat itu, pemerintahan Lee mulai menyusun sebuah strategi pembangunan dengan mempertimbangkan beberapa factor antara lain bina bangsa yang multicultural, serta orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi. Maka selanjutnya penulis akan menganalisis beberapa pemikiran politik Lee Kuan Yew di bawah ini.
Pembangunan sebagai inti ideologi negara. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa kebanyakan negara yang baru berkembang akan menemukan masalah yang cukup serius dalam pembangunannya. Masalah ini berhubungan dengan keterbatasan sumberdaya dalam negeri sehingga masing-masing pemegang kekuasaan harus cermat menentukan prioritas pembangunan. Katakanlah dalam kasus Singapura, menurut prioritas Lee pembangunan ekonomi merupakan satu hal yang terpenting bagi sebuah city state jika konteksnya national survival. Maka argumen yang diajukan adalah Lee Kuan Yew cenderung mengabaikan pakem aspek ideologi tertentu sebagai dasar pendirian negara. Lee tidak pernah menyebutkan bahwa Singapura yang baru berdiri tersebut akan dirancang menjadi sebuah negara sosialis ataukah liberalis.
Namun manakala mengamati latar belakang pendidikan Lee sebagai sarjana yang berpendidikan Barat dan kondisi Singapura yang merupakan bekas jajahan Inggris, dapat diasumsikan bahwa sedikit banyak ia akan menerapkan konsepsi pembangunan negara berlandaskan nilai-nilai liberalisme barat yang sarat dengan kapitalisme dan demokrasi. Maka prioritas pembangunan ekonomi yang dirancang Lee diikuti oleh pembukaan pasar secara bebas dan peningkatan industri. Namun dari latar belakangnya sebagai seorang etnis China, Lee sangat meyakini nilai-nilai confusian yang banyak menelurkan tradisi sosialis yang masih kaku terhadap demokrasi. Dalam konteks ini dapat digambarkan suatu pola bahwa kolaborasi ideologi yang dianut Lee membentuk suatu ideologi baru ala Singapura yang bertajuk ‘Demokrasi Sosialis’. Pemilihan kolaborasi ideologi tersebut didasarkan pada dua kepentingan yaitu masalah bina bangsa (nation building) dan pembangunan negara yang bertumpu pada economic development. Keduanya merupakan pilar yang harus diperkuat untuk mendukung jalannya pembangunan suatu bangsa yang baru merdeka.
Bagi negara kecil yang terdiri dari banyak etnis, bina bangsa ini penting untuk menanamkan identitas Singaporean sehingga jika masing-masing individu telah merasakan sense of place dan sense of belonging maka nasionalisme akan terbangun secara sendirinya. Hal ini dimaksudkan jika nasionalisme tiap individu kuat, ia tidak akan mempermasalahkan lagi dari etnis atau agama mana seseorang berasal, sehingga rakyat akan terintegrasi untuk mendukung pembangunan dan memberikan legitimasi kepada pemerintah. Selanjutnya, hal ini akan memperkuat pilar kedua yaitu pembangunan ekonomi sebagai modal national survival bagi Singapura. Ciri suatu negara yang menerapkan pembangunan ekonomi sebagai ideology antara lain akan didapati suatu pola pembuatan kebijakan public yang rasional, efisisensi, efektivitas, dan pragmatis.

Demokrasi sebagai penghambat pembangunan. Untuk mencapai goal yaitu pembangunan ekonomi, harus ada pemerintahan yang efisien dan efektif meminimalisir konflik. Kondisi singapura yang multietnis dikhawatirkan akan sarat dengan kepentingan sehingga jika tidak diakomodasi akan menimbulkan konflik. Maka saluran demokrasi perlu ditutup, pemerintah harus tersentralisasi demi efisiensi, serta perlu diterapkan aturan yang keras dengan law enforcement yang tegas. Sebagai contohnya, Lee membuat peraturan-peraturan yang cukup ketat dan keras untuk menekan kelompok oposisi dan kebebasan berpendapat rakyatnya. Bahkan, Lee tidak segan-segan menghukum siapa saja yang tidak setuju dengan kebijakannya. Dalam hal ini penulis menggarisbawahi sistem pemerintahan terpusat dan otoriter yang dijalankan Lee Kuan Yew ini sedikit banyak dikonstruksikan dari pemikiran bahwa demokrasi hanya akan menghambat pembangunan.
Agar lebih mudah memahami alur berpikir tersebut kita perlu mencermati konsepsi dari Gabriel Almond. Seperti yang dinyatakan Gabriel Almond (2008), dalam sistem politik terdapat beberapa aspek penting yang tidak bisa diabaikan antara lain pandangan individu terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam sistem tersebut, keberadaan identitas social serta adanya legitimasi pemerintah. Legitimasi ini penting karena hal tersebut merupakan titik tolak keberhasilan suatu sistem politik yang dijalankan.(Almond,2008:44). Di sisi lain, proses politik yang dijalankan di suatu negara akan mempengaruhi sikap dan orientasi individu terkait peran warga negara dalam perpolitikan serta persepsi terhadap hak-hak politik mereka (Almond, 2008:44).

It is much easier for government to function when citizens believe in the legitimacy of the system, virtually all governments, even the most brutal and coercive, try to encourage people to believe that they should obey the law….the leader may base their claim to legitimacy on their special wisdom or ideology, which they claim will transform people live’s for the better,even though the government does not respond to specific public demands or follow prescribe procedures.
-Gabriel Almond, 2008-

Selanjutnya Almond menjelaskan bahwa kedua hal diatas, baik level system maupun proses politik sangat menentukan pola output dan outcome pada level kebijakan. Dalam kasus Singapura, konsepsi Almond tersebut dapat menjelaskan bahwa pada level kebijakan peran pemerintah sangat penting untuk menentukan pencapaian tujuan dari sistem politik yang dijalankan. Lee Kuan Yew sebagai pemegang kekuasaan menentukan prioritas apa saja (dalam bidang ekonomi, social, atau politik) yang harus diwujudkan sesuai dengan national interest dan posisinya terhadap perpolitikan dunia.
Suatu negara mungkin mempunyai prioritas yang berbeda, namun yang dipentingkan di sini adalah bagaimana pemerintah menyesuaikan pola sistem politiknya sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, misalnya pengadopsian sistem otoritarian, demokratis, dan sebagainya. Level ini penting sebagai parameter apakah goal yang dicapai sesuai dengan ekspektasi warga negara dan apakah menghasilkan outcome yang cukup signifikan terkait efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Maka bagi Lee Kuan Yew, sistem otoriter dianggap tepat untuk memperkuat legitimasi dan efisiensi pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa dan negara.
Pemikiran Lee Kuan Yew tersebut dapat ditarik analisis lebih dalam dengan menggunakan konsepsi Lipset (dalam Mohtar,2003:70) bahwa demokrasi politik umumnya akan terjadi setelah terjadi keberhasilan pembangunan ekonomi. Konsepsi tersebut, mengutip argumen Mohtar Mas’oed, dapat menjelaskan bahwa pilihan strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi telah menimbulkan keharusan structural untuk mengembangkan politik yang tertib dan efisien tetapi tidak demokratis (Mohtar, 2003:170).

Otoriterisme sebagai implementasi politik ketertiban. Berdasarkan poin-poin yang telah banyak dianalisis dan dengan mengacu pada skema di atas selanjutnya dapat ditarik penalaran untuk menjelaskan munculnya otoriterisme Lee Kuan Yew di Singapura. Diajukan argument bahwa otoriterisme Lee Kuan Yew muncul sebagai implementasi pilihan kebijakan rasional untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan yang pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan dan memperkuat national survival. Bagi seorang Lee Kuan Yew otoriterisme dianggap sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan efisiensi pemerintah dalam mencapai tujuan nasional melalui politik ketertiban. Alhasil, Singapura dapat menjadi sebuah negara yang maju, bebas dari korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka.
Namun otoriterisme Lee ini tentunya juga memiliki dimensi rasional, menurut penulis bagi Lee Kuan Yew manakala pemerintah telah berupaya keras untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi maka rakyat harus memberikan trust sebagai wujud dukungan legitmasi pemerintah. Rakyat perlu meyakini bahwa system yang dijalankan Lee saat itu adalah demi kemakmuran rakyat Singapura. Meskipun terkesan elitis dan otoriter namun rakyat harus percaya bahwa demokrasi perlahan akan muncul jika kemakmuran ekonomi telah terwujud dan perpolitikan stabil.


Kesimpulan
Mengutip pernyataan Lee, modal pembangunan Singapura adalah kepercayaan dan keyakinan rakyat, kerja keras, hemat, haus belajar, dan kesadaran bahwa tindakan korup akan menghancurkan segala harapan sehingga kepercayaan rakyat tidak boleh disia-siakan sebab hal tersebut merupakan modal besar untuk sebuah perubahan. Dapat dikatakan, sistem otoriter yang dijalankan Lee saat itu tidak lantas bersifat zero-sum yang hanya menguntungkan pemerintah sedangkan rakyat tidak memperoleh manfaat sedikit pun. Namun, system otoriter yang diterapkan Lee Kuan Yew cenderung lebih membuka celah adanya mutual benefit karena memberikan harapan bagi kemakmuran ekonomi rakyat. Hal ini merupakan poin penting dalam analisis terhadap hubungan strategis antara otoriterisme Lee Kuan Yew dan pembangunan ekonomi Singapura meskipun relasi keduanya mengorbankan aspek demokrasi yang merupakan aspek penting bagi sebuah masyarakat modern.
Penulis menemukan satu poin penting sepanjang analisis di atas, bahwa dalam hal ini Lee Kuan Yew telah menemukan dimensi strategis tentang pola hubungan otoriterisme, kebijakan pembangunan ekonomi, dan demokrasi. Dua faktor yang disebutkan lebih awal adalah bagian yang bisa disinergiskan dan dijalankan bersama-sama, namun factor demokrasi hanya merupakan output bahkan side-effect jika relasi antara otoriterisme dan economic policy telah berhasil mencapai tujuannya. Itulah sebabnya mengapa factor demokrasi perlu diabaikan di awal pembangunan Singapura.
Bagi negara yang memiliki banyak keterbatasan sumberdaya, pemilihan strategi pembangunan yang tepat sangat dibutuhkan. Belajar dari kasus Singapura di atas, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Lee Kuan Yew berhasil menjadi seorang pemimpin yang meletakkan dasar kemajuan Singapura. Secara umum, pemikiran politik seorang pemimpin sangat menentukan pilihan tujuan apakah sebuah negara ingin menjadi negara maju atau pun negara miskin. Semua itu tergantung pada strategi pemimpin suatu negara untuk memanfaatkan potensi yang ada dengan mengonversikan segala keterbatasan menjadi peluang dan kekuatan.