Tuesday, October 27, 2009

“Potret TKW Indonesia di Luar Negeri”: Sebuah Dilema Perjuangan Hak Asasi

Dikembangkan dari essay tugas mata kuliah Pengantar Studi HAM

Pendahuluan
Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sejak dulu menjadi suatu isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Salah satunya isu mengenai hak asasi perempuan yang merupakan salah satu dimensi HAM yang begitu kompleks. Kompleksitas tersebut muncul terkait perbedaan perspektif dalam memandang perempuan itu sendiri.
Prof. Dr. Miriam Budiarjo (2008) menyatakan bahwa sedikitnya ada dua pemaknaan mengenai Hak Asasi Perempuan (HAP). Pertama, HAP dilihat dari segi woman nature. Dalam hal ini, pemaknaan hak asasi secara logis dengan memandang perempuan sebagai manusia sehingga sudah sewajarnya mereka mempunyai hak asasi. Dapat dikatakan, perspektif pertama ini hanya menjamin adanya ‘kewajiban’ tiap orang untuk mengakui adanya hak-hak yang melekat dalam diri setiap perempuan seperti halnya manusia yang lain. Namun, dalam tataran praksis mungkin masih kurang begitu efektif untuk memenuhi dan melindungi hak para perempuan demi terwujudanya pemerataan dalam kesejahteraan dan peningkatan harkat hidup perempuan secara umum.
Pendapat kedua memandang Hak Asasi Perempuan (HAP) sebagai suatu istilah yang mengandung visi dan maksud transformasi relasi social melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender sehingga makna tersebut lebih revolusioner karena HAP dintegrasikan dalam standar Hak Asasi Manusia (HAM). Berbeda dengan perspektif pertama yang memandang bahwa pemenuhan HAP merupakan kewajiban mengingat perempuan juga manusia. Dalam perspektif kedua ini, pemenuhan dan perlindungan hak asasi bagi perempuan dianggap sebagai ‘kebutuhan’ yang harus diwujudkan untuk meruntuhkan benteng gender terkait isu marjinalisasi kaum hawa tersebut..
Perempuan Indonesia dalam beberapa decade telah mengalami marjinalisasi dalam beberapa bidang. Dahulu perempuan hanya menjadi objek kepentingan ekonomi dan seksualitas. Dengan mengatasnamakan tradisi, dulu perempuan hanya diperbolehkan menjadi penghuni dapur dan pengurus rumah tangga yang harus patuh dengan segala kehendak suaminya. Namun, perjuangan R.A.Kartini berhasil memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Indonesia. Hal tersebut telah membuktikan bahwa perempuan juga berhak memperoleh peluang yang sama dan penghargaan di mata public. Di satu sisi keberhasilan tersebut cukup membanggakan namun di sisi lain ternyata masih ada saja permasalahan yang menimpa kaum hawa.
Kasus menyangkut perempuan selalu terdengar terutama menyangkut buruh migrant yang menerima kekerasan dari majikannya. Kasus-kasus terkait kekerasan, penganiayaan, perlakuan tidak adil, bahkan yang berakhir pada tewasnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri semakin memunculkan pertanyaan dan kekecewaan masyarakat terkait efektivitas perangkat hukum, lembaga-lembaga social, serta kebijakan pemerintah dalam perlindungan buruh migran.
Mengapa masih terjadi hal demikian padahal pemerintah telah meratifikasi beberapa konvensi internasional terkait perempuan, tenaga kerja beserta hak asasinya ? Bagaimana agar permasalahan menyangkut nasib buruh migran Indonesia di luar negeri dapat ditangani secara efektif ?


Buruh Migran : Posisi Ekonomi Perempuan yang Dilematis
Dalam konteks kekinian, terjadi banyak kasus kekerasan terhadap buruh migrant/ tenaga kerja wanita yang saat ini menjadi isu kontemporer di Indonesia. Isu-isu terkait kekerasan majikan terhadap TKW, penganiayaan, pelecehan, yang bahkan sampai menyebabkan terbunuhnya TKW tersebut sering mewarnai media massa dalam negeri dan sangat menyita perhatian public. Dalam poin ini perlu dipertanyakan kenapa kasus serupa sering terjadi terutama terhadap pekerja perempuan? Seperti salah satu kasus yang menimpa Kartini, seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja d Malaysia.
Bulan lalu sempat diberitakan bahwa Kartini tewas akibat dianiaya oleh majikannya. Berdasarkan hasil otopsi, sekujur tubuh wanita tersebut lebam akibat pukulan benda tumpul sehingga hal tersebut semakin memperkuat dugaan penganiayaan yang ternyata dilakukan oleh majikannya sendiri (Koran Tempo, 25 Mei 2009, hlm A4). Sampai saat ini diperkirakan ratusan kasus serupa telah terjadi dan sebagian korbannya selalu pekerja perempuan.
Dapat dikatakan, manakala perempuan menjadi buruh migran mereka menempati posisi yang sangat dilematis. Dilema tersebut dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang yang disampaikan oleh Miriam Budiarjo. Pertama, melihat pemenuhan hak perempuan dalam konteks sebagai mahluk pada umumnya ternyata tidak diimbangi tentang pemahaman bahwa perempuan yang bekerja memiliki hak yang lebih kompleks dari normalnya. Para majikan yang mempunyai pandangan tersebut hanya melakukan kewajibannya untuk memberikan upah dan imbalan atas kinerja TKW tersebut. Namun, sering kali mereka tidak segan melakukan kekerasan fisik atau psikologis bagi pembantunya bahkan kemungkinan terburuk sering kali upah para pembantu tersebut tidak dibayar selama beberapa bulan. Hal tersebut tentu menjadikan martabat perempuan Indonesia semakin jatuh dalam pandangan majikan di negeri asing tersebut. Mereka hanya menghargai perempuan Indonesia sebatas pembantu yang dibayar dengan harga murah tanpa mempedulikan hak-hak lain yang berhubungan dengan sisi kemanusiaan.
Kedua, berdasarkan sudut pandang transformative, manakala perempuan telah berhasil menjalani tranformasi social terkait posisinya untuk memperoleh kesempatan yang lebih luas, hal tersebut ternyata belum mampu diimbangi dengan perangkat legal formal yang efektif untuk menjamin dan melindugi hak-hak mereka. Perempuan Indonesia saat ini telah berupaya menumbangkan ‘benteng’ tradisi dan isolasi. Mereka telah berani memperjuangkan hak-hak ekonomi mereka dan keluarganya bahkan hingga ke luar negeri sekali pun karena pemenuhan hak-hak ekonomi di dalam negeri dirasa kurang begitu memadai.
Sebagaimana yang telah diteliti oleh Noelen Heyzer (1986) terkait perkembangan pekerja wanita di Asia Tenggara, bahwa transformasi peran dan perubahan posisi wanita tersebut ternyata diikuti pula oleh banyak konflik dan kontradiksi. Awalnya sangat sedikit sekali dokumentasi mengenai dilema dan efek dinamis dari perubahan wanita serta hubungannya dengan masyarakat, sehingga kajian kebijakan untuk menghadapi segala masalah tenaga kerja wanita terkesan terlambat dan cenderung kurang efektif
Ketiga, dilemma tersebut juga terkait dengan social treatment di negara tujuan. Misalnya pada sebagian besar kasus di Malaysia, kedua pihak baik Indonesia dan Malaysia telah sama-sama meratifikasi konvensi internasional baik terkait tenaga kerja, hak asasi, anti diskriminasi terhadap wanita, dan beberapa perjanjian bilateral tentang ketenagakerjaan, namun semua itu tidak diikuti oleh kesadaran warga negara Malaysia yang mempekerjakan tenaga kerja Indonesia. Faktanya, meskipun berulang kali pemerintah kedua negara melakukan negosiasi serta kesepakatan tentang TKI tetapi masih saja muncul kasus-kasus kekerasan serupa.
Pemerintah Indonesia memang telah meratifikasi konvensi anti diskriminasi terhadap wanita, kovenan hak ekonomi, social dan budaya serta telah menetapkan undang-undang yang menjamin pemenuhan dan perlindungan terhadap buruh migran, namun semua itu dirasa hanya efektif ketika diimplementasikan di dalam negeri sedangkan pengaruh legal binding di luar negeri sangat rendah.
Namun di sisi lain, pihak yang bersalah atas timbulnya kekerasan tersebut tidak selalu warga negara tujuan TKW. Bisa saja kekerasan yang muncul tersebut akibat dari ketidakpuasan atau kekecewaan para majikan terhadap sikap dan kinerja para buruh. Hal itu mungkin saja terjadi pada tenaga kerja yang berstatus legal atau pun yang lebih sering yang berstatus illegal karena tidak dibekali dengan ketrampilan kerja yang memadai selain ketidakmampuan dalam menyesuaikan dengan kultur setempat. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat, lembaga-lembaga terkait, dan pemerintah sangat dibutuhkan.

Terkait dengan kasus buruh migran perempuan yang sangat kompleks dan dilematis, ada beberapa rekomendasi yang mungkin dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut, antara lain :
• Untuk menambah perangkat legal formal, diharapkan Indonesia segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan membuat kesepakatan yang lebih tegas dengan pemerintah tujuan buruh migran. Kebijakan tersebut tidak hanya pemenuhan dan perlindungan terhadap buruh migrant perempuan dari sudut pandang pekerja tetapi juga dari sudut pandang hak-hak perempuan.
• Indonesia harus mampu bernegosiasi dengan negara tujuan buruh migran agar pemerintah negara tersebut menerapkan aturan (MoU dengan komitmen bersama) yang lebih tegas terhadap jaminan hak-hak tenaga kerja asing terutama para Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia untuk memperoleh perlakuan serta hak-hak yang sama. Selain itu, pihak Indonesia harus mewajibkan negara-negara tujuan agar mampu meyakinkan rakyatnya dan menyamakan persepsi (hak perempuan dan hak pekerja) serta willingness dalam upaya perlindungan serta pemenuhan hak-hak pekerja terutama para TKW.
• Instansi pengiriman tenaga kerja juga harus terlibat dengan memberikan ketrampilan yang memadai, pengetahuan moral, pengenalan kultur setempat, serta selektif dalam meloloskan para wanita untuk dipekerjakan sebagai buruh migrant. Hal tersebut setidaknya untuk menghindari kekecewaan majikan akan ketidakpuasan kinerja pekerja sehingga mereduksi tendensi kekerasan dan penganiayaan terhadap pekerja tersebut.
• Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan dan mengoptimalkan peran serta kinerja BNP2TKI, kedutaan besar RI, dan instansi pengiriman tenaga kerja terkait untuk menjamin keamanan, perlindungan dan pemenuhan hak dalam penempatan TKI terutama pekerja perempuan di luar negeri.
• Jika beberapa rekomendasi di atas tidak juga efektif, mungkin kebijakan yang bisa dilakukan adalah menghentikan pengiriman tenaga kerja terutama TKW ke negara-negara yang sering terlibat kasus kekerasan maupun penganiayaan terhadap pekerja wanita. Konsekuensinya tentu akan mengurangi devisa negara, karena pengiriman tenaga kerja ke luar negeri menyumbang kontribusi besar dalam pos devisa. Namun, hal ini tidak lain untuk menyelamatkan martabat perempuan Indonesia dalam upaya pencapaian keadilan social.

Penutup
Pada akhirnya diharapkan, para TKW Indonesia tidak mengalami dilematika dalam posisinya sebagai perempuan yang memperjuangkan hak ekonominya.. Mereka perlu dilindungi karena mereka adalah pahlawan devisa bagi negara. Maka, inilah saatnya bagi semua pihak membuktikan kepeduliannya terhadap perempuan terutama dalam posisinya sebagai buruh migrant. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dan partisipasi dari seluruh masyarakat, pemerintah, lembaga-lembaga social, dan seluruh dunia untuk menjamin perlindungan, keadilan serta keamanan setiap orang terutama kaum perempuan dalam upaya pemenuhan hak-haknya.