Wednesday, September 1, 2010

Memimpikan Euro Sebagai Mata Uang Global

Pendahuluan
Dalam perjalanan historis perekonomian internasional, berakhirnya kesepakatan Bretton Woods yang dilanggar secara sepihak oleh Amerika Serikat telah menjadikan Dolar AS semakin mendominasi sebagai alat tukar internasional. Strategi ini sangat berhasil mendominasi perekonomian dunia dengan memaksakan Dolar AS sebagai alat tukar internasional, khususnya kepada negara-negara berkembang. Hal ini bagi beberapa pihak sering disebut sebagai neo-imperialisme AS melalui politik moneternya karena telah terbukti menghancurkan perekonomian negara-negara yang tidak tunduk pada negara adi daya itu, seperti Meksiko, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang mengalami krisis moneter pada 1997 (Nafik, 2009). Dalam poin tersebut dapat terlihat bahwa AS begitu cerdas menggunakan kekuatannya melalui rezim moneter internasional yang dikendalikannya untuk mengontrol seluruh kegiatan perdagangan, investasi, hutang piutang bahkan agenda politik di suatu negara atau lembaga internasional selama Dolar masih dipercaya sebagai alat tukar internasional.
Namun, runtuhnya sistem keuangan Amerika di akhir tahun 2008 akibat kredit macet perumahan yang mengakibatkan krisis pasar finansial dan resesi ekonomi global mendorong beberapa pihak meninjau ulang posisi Dolar AS sebagai cadangan devisa utama dunia. Nilai tukar Dolar AS yang semakin tergerus akibat kebijakan moneter longgar yang diadopsi bank sentral Amerika, the Federal Reserve, menimbulkan kekhawatiran terhadap keputusan untuk mempertahankan penggunaan Dolar AS sebagai cadangan devisa. Di sisi lain, sistem Dolar AS yang akhir-akhir ini menunjukkan ketidakstabilan dan sangat rentan terhadap krisis finansial yang dapat menimbulkan spillover effect bagi perekonomian di seluruh dunia, memberikan semangat baru bagi negara-negara pemilik mata uang potensial untuk mengedepankan mata uangnya dalam kompetisi pencarian kedudukan dan power ekonomi menggantikan Dolar AS. Negara-negara seperti Brazil, Rusia, India, dan China (BRIC) saling berkompetisi untuk mempromosikan mata uangnya sebagai alternatif baru mata uang global meskipun dalam proses awalnya mereka lebih cenderung berkoalisi untuk mencari solusi penanganan krisis sistemik keuangan internasional. Dalam pernyataan bersama, BRIC menyatakan mereka sepakat untuk mempercepat reformasi institusi-institusi finansial internasional sehingga merefleksikan perubahan dalam ekonomi dunia. Bagi mereka, negara-negara berkembang dan ekonomi yang tengah membangun seharusnya memiliki suara lebih besar dan representatif dalam institusi-institusi finansial internasional. Namun di sisi lain, beberapa pihak justru memprediksi bahwa Euro menjadi salah satu kandidat kuat dalam hal ini karena mempunyai potensi besar untuk menggantikan posisi Dolar AS. Argumen tersebut didasarkan pada pertimbangan atas perekonomian Eropa yang semakin menguat dan keberhasilan stabilitas pertumbuhan regional yang diraih melalui integrasi moneter.
Namun, apakah Euro mampu menggantikan posisi Dolar AS yang telah lama menancapkan hegemoninya dalam sistem internasional? Hambatan dan tantangan apa yang akan dihadapi Euro untuk menjadi mata uang global?

Pencarian Orde Baru Sistem Moneter Internasional
Beberapa ahli percaya bahwa sistem moneter internasional memerlukan sebuah rezim yang kuat yang mampu mengakomodasi friksi internal dan tuntutan stabilitas moneter internasional. Dalam hal ini, sistem moneter internasional setidaknya tetap memperhatikan dua hal penting yaitu hegemoni dan faktor manajerial yang dapat merujuk pada suatu mata uang bersama yang diatur melalui sebuah rezim keuangan yang altruis dan dipercaya secara global. Sistem moneter internasional secara idealnya harus mampu menggalakkan kerjasama antar negara dan menjaga agar fleksibilitas dan stabilitas moneter tetap seimbang. Susan Strange dan David Calleo mengidentifikasi bahwa sistem tersebut akan mendapatkan masalah bilamana manajerial yang dijalankan cenderung menjadi tiran dan mengeksploitasi sistem moneter internasional untuk kepentingannya sendiri (colleo and strange, 1984). Biasanya sistem seperti ini terjadi bila alat tukar internasional yang digunakan merupakan mata uang sebuah negara yang secara sadar atau tidak telah dipaksakan untuk menjadi mata uang global.
Selama ini kaidah tersebut memang telah berlaku secara global dimana Amerika Serikat dengan Dolar tampil menjadi hegemon tunggal. Sejak awal, AS berharap mata uangnya akan mendominasi perekonomian dunia karena memang Dolar AS saat itu telah banyak beredar di luar negeri. Siasat ini sebenarnya merupakan model imperialisme baru dengan mengunakan kekuatan rezim moneter meskipun pada akhirnya justru menimbulkan krisis. Krisis tersebut merupakan contagion effect dari jatuhnya sistem keuangan di Amerika sehingga secara dramatis turut menyeret elemen dan lembaga-lembaga di level global dari sistem keuangan terkait. Ancaman krisis tersebut setidaknya dapat dihindari dengan cara memberlakukan mata uang tunggal global yang stabil sehingga hubungan ekonomi, perdagangan dan harga-harga akan lebih ditentukan oleh produktivitas, efisiensi dan kualitas. Dengan kata lain, sistem yang ideal seharusnya mampu mengatur perimbangan kekuatan antar negara sehingga negara yang mata uangnya menjadi manajer yang hegemonik tetap berpegang teguh pada obligasi untuk menjamin kepentingan negara lain dan menjaga stabilitas sistem internasional.
Bercermin dari pengalaman Dolar yang cenderung tidak stabil, terlepas dari efek negatif krisis finansial global, hal ini juga memberikan keuntungan tersendiri bagi negara seperti AS. Sistem Dolar yang berlaku selama ini bertumpu pada sistem nilai tukar mengambang dimana sistem nilai tukar mata uang suatu negara sangat relatif terhadap mata uang negara lain tergantung dari keinginan pemegang mata uang tersebut. Akibatnya, sistem nilai tukar ini tidak stabil dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan situasi ekonomi dan politik di AS. Negara-negara berkembang dengan mata uang lemah yang menggantungkan sistem moneternya pada Dolar AS harus rela untuk mendapat ‘goncangan’ ekonomi jika sewaktu-waktu terjadi perubahan drastis dari nilai tukar Dolar AS.
Dalam teorinya, penerapan uang tunggal global harus diawali dengan penyamaan persepsi diantara negara-negara di dunia, kemudian membentuk badan internasional yang memiliki otoritas dalam pemberlakuannya, baik menyangkut jumlah, penjatahan, distribusi, nilai nominal, bahan uang dan sebagainya. Dalam hal ini, pengalaman Uni Eropa dalam menerapkan mata uang bersama setidaknya dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat internasional jika ingin mencari alternatif mata uang yang baru. Salah satu hal yang terpenting dalam pencanangan mata uang bersama adalah kepercayaan (trust) terhadap mata uang dan kerelaan menitipkan kepentingan ekonomi terhadap sistem yang dijalankan oleh rezim moneter yang berlaku. Bilamana terdapat satu atau beberapa negara yang tidak setuju dengan aturan rezim, maka konsekuensinya negara tersebut harus dikeluarkan dalam sistem moneter internasional sehingga jika tidak mampu menyesuaikan dengan sistem pada akhirnya nilai mata uang negara yang bersangkutan akan semakin jatuh.
Hal yang menarik dalam penerapan Euro ini adalah Uni Eropa mampu menerapkan sistem nilai tukar terkelola (managed exchange rate) dalam level regional dimana ketidakstabilan dapat diminimalisasi melalui tindakan negara. Hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara anggota karena stabilitas nilai tukar Euro dijamin oleh European Monetary System (EMS) melalui mekanisme Bank Sentral Eropa. Salah satu keberhasilan sistem ini dapat diketahui dimana Yunani, Italia, Spanyol dan Portugal setelah bergabung dengan Euro selama bertahun-tahun mengecap keuntungan dengan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal ini memberikan peluang bagi ekonomi masing-masing negara untuk bergerak secara harmonis karena koordinasi kebijakan antar bank sentral masing-masing negara sangat penting untuk mencapai kestabilan pertumbuhan secara kolektif mengingat nilai tukar masing-masing negara sangat relatif terhadap yang lain. Sistem Euro tersebut bagi beberapa pihak direspon secara optimis untuk diberlakukan secara global tentunya dengan pencarian mekanisme baru yang lebih akomodatif oleh rezim yang cukup kredibel dalam mewujudkan kepentingan internasional.

Investigasi Sistem Internal Euro
Terlepas dari keberhasilan penerapan Euro dalam menunjang pertumbuhan ekonomi regional, pewacanaan Euro sebagai mata uang global tentunya memerlukan analisis intrinsik guna mengetahui seberapa besar peluang mata uang ini menjadi pesaing Dolar AS. Pertama, secara neo-fungsionalisme kebijakan mata uang tunggal Eropa pada awalnya diharapkan mampu memperkuat identitas politik yang integral, namun sampai saat ini Euro belum mampu menjadi identitas politik yang solid dan legitimate bagi semua negara Uni Eropa. Hal tersebut terbukti bahwa masih ada beberapa negara yang skeptis dan egois menolak penggunaan Euro misalnya Inggris. Diskursus mata uang bersama ini pada awalnya memang diharapkan mampu menjadi pengikat negara-negara Uni Eropa agar bersedia mengorbankan kedaulatan nasionalnya untuk kepentingan supranasional. Namun dalam tataran praksis, kebijakan ini justru menimbulkan dilema dan mengancam kohesivitas negara-negara anggota.
Negara-negara yang tergabung dalam sistem Euro ini sebagian besar memiliki sistem ekonomi politik yang berbeda-beda. Beberapa negara yang berorientasi stabilitas sudah membuktikan keberhasilannya, sementara sejumlah negara masih harus diragukan. Dengan demikian, negara-negara yang memiliki pandangan politik dan sosial ekonomi berbeda-beda, yang sebetulnya tidak cocok satu sama lainnya, telah bergabung dalam satu mekanisme penggunaan Euro. Selain itu meskipun awalnya penggunaan Euro terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara seperti Portugal, Italia, Yunani, dan Spanyol, namun pertumbuhan yang sementara ini kembali melemah. Upah pekerja terus meningkat tanpa diimbangi meningkatnya produktivitas dan biaya produksi meningkat lebih pesat dibanding di kawasan pengguna Euro lainnya. Dengan kata lain kemampuan bersaing negara-negara ini semakin merosot dan ekspor menurun drastis, namun di satu sisi impor terus meningkat.
Kedua, krisis Yunani yang terjadi akhir-akhir ini juga menimbulkan pesimisme terkait efektivitas manajerial Euro. Beberapa pihak mengaitkan hal tersebut dengan sistem Euro yang kuat karena krisis Yunani merupakan akibat dari hutang pemerintah yang semakin besar seiring menguatnya nilai Euro. Selama ini Yunani dikenal sebagai salah satu negara Eropa selatan yang tergabung dalam European Monatary Union (EMU) namun juga banyak melanggar kriteria konvergensi bersama ketiga partner-nya yaitu Portugal, Italia, dan Spanyol yang sering dikenal sebagai negara PIGS. Pelanggaran negara PIGS adalah terkait jumlah hutang pemerintah yang mana teridentifikasi bahwa hutang Italia mencapai 116 persen dari PDB, Spanyol 52 persen PDB, Portugal 75 persen PDB, dan Yunani mencapai 115 persen PDB (Ramli,2010).
Rizal Ramli mengidentifikasi bahwa pelanggaran negara PIGS atas kriteria konvergensi dalam EMU menciptakan sebuah kombinasi yang cukup membahayakan bagi perekonomian di suatu negara yaitu defisit anggaran dan hutang pemerintah yang terlalu besar berhadapan dengan menguatnya mata uang (Ramli,ibid). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bergabungnya Yunani dalam EMU pada awalnya banyak memberikan keuntungan dalam pertumbuhan ekonomi dalam negerinya untuk mampu menyesuaikan dengan ekonomi kawasan. Selama ini, Bank Sentral Eropa telah memberikan banyak pinjaman kepada Yunani untuk terlepas dari krisis hutangnya, namun karena kesalahan teknis dan manipulasi laporan yang terjadi justru semakin memperparah krisis hutang Yunani. Poin yang perlu digarisbawahi dalam kasus tersebut adalah lemahnya pengawasan Bank Sentral Eropa sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran kesepakatan dan manipulasi data oleh negara anggota. Selain itu, kriteria penerimaan EMU dianggap sangat lemah, sangat longgar diinterpretasikan, bahkan sebagian tidak mengalami pengawasan. Mata uang Euro terancam menjadi tidak stabil akibat beban hutang yang terlalu besar beberapa negara anggotanya. Kecacatan manajerial dalam penerapan Euro secara regional ini menimbulkan keraguan terkait penerapan mata uang tersebut secara global.
Ketiga, koordinasi moneter Eropa dianggap belum begitu efektif selama tidak ada koordinasi fiskal. Integrasi kebijakan fiskal ini masih belum tercapai karena masing-masing negara memiliki kewajiban dan target sosial ekonomi yang berbeda-beda.
Secara lebih spesifik, Uni Eropa pada awalnya hanya mencari cara baru terkait kontrol politik dalam globalisasi. Mereka melihat bahwa penyatuan moneter merupakan cara terbaik untuk menghadapi ekses-ekses negatif globalisasi yang seringkali menimbulkan ketimpangan. Namun, pihak lain melihat bahwa jatuhnya sistem ekonomi AS merupakan peluang emas bagi Uni Eropa untuk mengambilalih kendali globalisasi dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sistem Euro.

Tantangan Euro dalam Kompetisi Global
Berdasarkan investigasi terhadap sistem internal Euro, dapat dikatakan bahwa Euro memiliki potensi ekonomi yang cukup kuat. Namun, potensi tersebut tidak diikuti oleh stuktur manajerial dan keinginan politik yang cukup kuat untuk mengatasi friksi internal bahkan semakin menimbulkan keraguan terkait efektivitas Euro secara global. Pada dasarnya keberadaan Euro selama ini memiliki potensi ekonomi maupun politik bagi Uni Eropa, namun sayangnya Uni Eropa tidak begitu optimal dalam memanfaatkan peluang tersebut. Misalnya dalam kasus perdagangan minyak di Timur Tengah. Sebagaimana diketahui, Irak merupakan produsen minyak yang cukup besar di kalangan OPEC. Dengan produksi 1,5 juta barel/hari sungguh sangat menggiurkan jika bisa mengontrol produksi minyak Irak (Sugiyanto,2003). Pada awalnya, Dolar AS tampil sebagai mata uang global yang tidak tersaingi termasuk dalam perdagangan minyak dunia, namun posisi tersebut sempat terancam oleh Euro yang diajukan sebagai alternatif pendanaan baru dalam perdagangan minyak. Beberapa waktu sebelum pemerintah Amerika mendeklarasikan perang terhadap Irak, pemerintah Irak mengeluarkan sebuah ancaman untuk menjual minyaknya dalam Euro sehingga secara otomatis hal ini akan mengancam kepentingan Amerika (Setiawati,2004). Menguatnya posisi Euro tersebut setidaknya membawa keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan minyak Eropa seperti Total Fina Elf dan Shell (Setiawati, Ibid). Hal tersebut juga didukung kepentingan negara-negara OPEC untuk menggunakan Euro sebagai mata uang utama dalam perdagangan minyak karena eurozone merupakan importer minyak terbesar dunia.
Resiko yang barangkali muncul dari pengambilalihan posisi Dolar AS oleh Euro dalam perdagangan minyak dunia adalah semakin agresifnya AS memicu konflik dengan negara-negara yang mencoba membahayakan kepentingan nasionalnya seperti yang telah dilakukannya terhadap Irak. Hal ini tentunya menimbulkan dilema bagi Uni Eropa, di satu sisi konversi perdagangan minyak ke sistem Euro akan sangat menguntungkan secara ekonomi namun di sisi lain jika Euro berani menantang Dolar, berarti posisi ekonomi Uni Eropa di Timur Tengah semakin terancam dengan munculnya perang dan konflik karena ambisi Amerika mempertahankan hegemoninya.
Selain itu, semakin kuatnya nilai tukar Euro juga patut menjadi perhatian dalam perdagangan. Di satu sisi, tingginya harga komoditas akan memberikan keuntungan yang tinggi pula bagi suatu negara dan produsen, namun di sisi lain hal tersebut justru mengambat kompetisi dalam meraih minat konsumen. Analoginya, jika perdagangan bebas antar negara dilakukan dalam sistem mata uang yang kuat dimana semua harga barang dikonversikan dalam standar mata uang tersebut, maka barang-barang menjadi mahal sehingga perdagangan bebas kurang kompetitif karena konsumen cenderung memilih barang dengan harga murah.
Keberhasilan Uni Eropa menciptakan stabilitas nilai tukar secara regional melalui EMS dan Pakta Stabilitas Pertumbuhan tidak diimplementasikan lebih jauh dalam level global. Dalam hal ini Uni Eropa melihat banyak tantangan jika harus menghadapi negara lain yang telah lama memimpin dalam sistem moneter internasional seperti Amerika Serikat. Bahkan kemunculan pesaing baru seperti negara-negara BRIC menimbulkan tantangan tersendiri bagi Uni Eropa untuk mempromosikan Euro sebagai pesaing mata uang mereka. Selain itu, dalam praktik perdagangan regional di Asia Timur Jepang dan China justru menerapkan kebijakan mata uang lemah dan hutang minimum untuk meningkatkan daya saing ekspor, melindungi industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan menumpuk cadangan devisa. Melalui kebijakan tersebut ekonomi negara-negara Asia Timur dapat tumbuh di atas sepuluh persen dan mampu mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara barat. Beberapa waktu terakhir China aktif mempromosikan Yuan sebagai mata uang global mengingat penerimaan Yuan dalam beberapa tahun terus meningkat, menyusul menguatnya ekonomi China serta cadangan mata uang asing sebanyak 1,9 triliun dolar AS. Hal ini tentunya menjadi tantangan baru bagi Uni Eropa.
Pada dasarnya Uni Eropa cukup mampu untuk menghadapi persaingan tersebut, namun mereka tidak berani menjamin bahwa solidaritas negara anggota akan terus terjaga dalam menghadapi masalah global yang lebih berat. Jadi meskipun sistem Euro cukup efektif mengatasi masalah ekonomi dalam lingkup regional, namun tidak ada jaminan bahwa Euro mampu menghadapi tantangan ekonomi global jika tidak disertai dengan political will dan strategi politik dari institusi moneter yang kuat.

Kesimpulan : Mungkinkah Euro Menggantikan Dolar AS?
Terkait potensial atau tidaknya Euro menjadi mata uang alternatif dalam sistem moneter internasional menggantikan Dolar AS setidaknya dapat ditinjau dalam dua sisi. Pertama, secara ekonomi mata uang ini memiliki kapasitas yang cukup besar untuk menduduki posisi terdepan dalam siklus perdagangan, investasi, dan perekonomian internasional. Secara internal, nilai tukar Euro yang begitu kuat setidaknya mampu mendorong para investor untuk memperbanyak investasinya. Perihal keberhasilan cost and benefit Euro pun telah banyak dirasakan oleh beberapa negara Eropa yang mampu mencapai tingkat ekonomi yang relatif stabil dan pertumbuhan yang kompetitif meskipun diantaranya masih harus menyesuaikan. Dapat dikatakan, secara idealnya kriteria konvergensi yang ditetapkan dalam European Monetary System (EMS) menjadi peluang yang cukup inovatif jika mampu diterapkan secara internasional.
Kedua, secara politis, banyak pihak yang meragukan bahwa Euro mampu menjadi mata uang alternatif menggantikan Dolar AS. Pencarian mata uang alternatif dalam sistem moneter internasional tidak hanya mengacu pada pertimbangan ekonomis, namun faktor politis akan tetap menjadi kekuatan dan legalitas dalam hubungan ekonomi politik. Hal tersebut telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam teori politik keuangan internasional keberadaan uang tidak hanya dianggap sebagai alat tukar dalam kepentingan ekonomi semata, namun sebagai alat untuk membentuk hegemoni yang pada akhirnya sangat penting untuk mengendalikan interaksi antara struktur-struktur politik. Dalam hal ini yang diperlukan adalah political will dari negara atau komunitas pemilik mata uang.
Namun, sampai saat ini tidak ada deklarasi secara ekspresif dari Uni Eropa bahwa Euro akan dinobatkan menjadi mata uang global sebagai tandingan Dolar AS. Pada dasarnya pencanangan Euro sebagai mata uang bersama Uni Eropa hanya dianggap sebagai respon terhadap ketidakstabilan sistem moneter internasional dalam lingkup regional. Dapat dikatakan, Euro merupakan kebijakan Uni Eropa untuk membentuk globalisasi finansial dalam resep mereka sendiri dan dalam lingkup regional. Hal ini menarik karena terlepas dari kesuksesan dan kegagalan sistem Euro dalam membangun stabilitas keuangan dan perekonomian regional, banyak pihak yang memimpikan Euro mampu mengambil peran lebih jauh dalam isu-isu internasional. Namun yang justru menjadi hambatan adalah sistem manajerial dan political will dari Uni Eropa sendiri. Selama ini Uni Eropa lebih sibuk membangun dan menguatkan manajemen Euro secara internal dan mengatasi kasus-kasus kegagalan penerapan EMS di beberapa negara anggota dari pada mempersiapkan sistem manajerial baru bagi Euro untuk diberlakukan secara global. Oleh karena itu, Uni Eropa sendiri memang belum cukup siap untuk dinobatkan sebagai hegemon sistem moneter internasional menggantikan AS dengan Dolar yang masih begitu kuat diparcaya dunia sebagai mata uang global.