Wednesday, January 18, 2012

Membongkar Konstruksi Maskulinitas


Catatan diskusi media Rifka Annisa WCC

Nara Sumber : Aditya P. Kurniawan
Divisi Men’s Program Rifka Annisa WCC

Berbicara mengenai maskulinitas sebagai sebuah diskursus, seharusnya tidak sebatas mempertanyakan apa itu maskulinitas (what masculinity is) tetapi kita perlu melihat lebih jauh tentang apa yang dihasilkan/dilakukan oleh maskulinitas (what masculinity does). Hal ini mengacu pada esensi dari maskulinitas sendiri sebagai sebuah konstruksi nilai-nilai yang diproduksi oleh budaya. Dari sudut pandang sosiologi, maskulinitas merupakan sebuah narasi/kisah tentang bagaimana laki-laki dipersyaratkan. Maskulinitas seakan memberikan cerita tentang sosok maskulin seorang laki-laki yang selalu diidentikan dengan sifat berwibawa, tegas, bijaksana, kompetitif, pengayom, dan pintar. Lantas apa masalahnya? Maskulinitas menjadi isu penting dikalangan aktivis feminis karena konstruksi yang selama ini ada dalam budaya patriarki tentang sosok yang maskulin adalah identik dengan superioritas, memiliki posisi tinggi dan dekat dengan kekuasaan. Kemudian ketika identifikasi tersebut mengalami pembakuan, menimbulkan hegemoni dan hierarki, maka itulah masalahnya yang berpotensi menimbulkan kekerasan berbasis gender. Kemudian bagaimana maskulinitas dikonstruksi dalam sebuah sistem budaya patriarki?
Pertama, adanya pembakuan tentang sifat maskulin dan feminine yang dipersyaratkan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Sifat maskulin selalu dilekatkan pada sosok laki-laki dan feminine pada sosok perempuan. Hal ini kemudian oleh budaya patriarki dibentuk dalam batasan yang begitu jelas sehingga menyebabkan dikotomi laki-laki-maskulin dan perempuan-feminin. Dalam hal ini tidak dikenal sosok laki-laki yang lemah lembut (identik dengan feminine) dan sebaliknya tidak dikenal sosok perempuan yang dominan, kasar, dan kompetitif (identik dengan maskulin).
Kedua, selanjutnya pembakuan tersebut diikuti oleh hierarki dalam maskulinitas. Bagi mereka yang semakin besar ciri-ciri maskulinnya (dominan, tegas, kompetitif, dan sebagainya), maka semakin tinggi pula posisinya (top level masculinity). Sebaliknya, jika seorang laki-laki tidak mampu memenuhi dan jauh dari stereotype tersebut, maka ia dianggap bukan bagian dari mereka. Akibatnya, orang yang tak mampu memenuhi prasarat tersebut akan dikucilkan dan ditindas oleh laki-laki yang lebih superior.
Ketiga, konstruksi maskulinitas yang demikian ini pada akhirnya menimbulkan hegemoni yaitu berupa hasrat untuk menguasai dan menindas orang lain yang dianggap lebih lemah. Bagi laki-laki yang merasa berada pada top level masculinity maka kecenderungannya ia akan mendominasi dan menindas laki-laki yang dianggap tidak maskulin, juga perempuan dan anak-anak. Namun, bukan berarti laki-laki yang tidak berada pada top level masculinity selalu menjadi korban penindasan konstruksi maskulinitas tersebut, tetapi bisa saja ia menjadi pelaku penindasan kepada manusia yang lebih lemah dari dirinya misalnya kepada perempuan dan anak-anak.
Dalam perkembangannya, maskulinitas ini menjadi sebuah sistem yang kompetitif (sistem budaya maupun sistem politik). Jika melihat kecenderungan politik saat ini, tidak hanya para laki-laki yang berlomba-lomba meraih kekuasaan. Tidak sedikit politisi perempuan yang memiliki ambisi besar dalam politik yang akhirnya mereka harus berkompetisi dengan politisi laki-laki. Politik terjebak dalam sistem maskulinitas, bahkan banyak pula para perempuan yang awalnya berniat memperjuangkan kesetaraan hak dalam berpolitik juga terjebak dalam arus maskulinitas politik. Jika demikian, para perempuan tersebut justru mengadopsi dan mengutamakan sifat-sifat maskulin sebagai prasarat survival dalam arena kompetisi politik yang kian kompleks. Selanjutnya, jika maskulinitas sudah menjelma menjadi sebuah sistem, maka maskulinitas tidak berdiri sendiri tetapi bercampur dengan struktur kelas. Laki-laki yang selama ini dianggap maskulin akan tunduk dan menuruti perintah pimpinannya yang seorang perempuan. Bagi perempuan pemimpin pun, ketika ia harus berhadapan dengan bawahannya maka sifat-sifat yang maskulin lebih banyak ditonjolkan.Sedangkan jika berhadapan dengan anak-anak dan suami di rumah maka akan sangat feminine. Hal ini menunjukan bahwa relasi kelas begitu berpengaruh terhadap pemikiran maskulin-feminin. Maskulinitas tidak seharusnya dibakukan seperti yang dihasilkan oleh budaya patriarki selama ini. Konstruksi maskulin-feminin seyogyanya dipahami secara kontekstual dan tidak dikotomis berdasarkan gender.
Kemudian apa yang dikampanyekan dan diperjuangkan oleh Rifka Annisa (Divisi Men’s Program)? Rifka Annisa berupaya memperjuangkan keadilan gender dengan cara meng-counter dan meminimalisir sisi negatif maskulinitas dalam masyarakat. Jadi sifat maskulin dan feminine itu pada dasarya netral dan tidak berbahaya. Dalam diri setiap orang berpotensi memiliki kedua sifat tersebut. Itu akan menimbulkan permasalahan tergantung bagaimana cara mengekspesikannya. Kekerasan maupun ketidakadilan gender terkadang muncul akibat perasaan dan cara berpikir patriarki yang menyalahgunakan sifat maskulin dan feminine tersebut. Belum lagi keyakinan nilai dalam melihat relasi antar kelas di masyarakat juga banyak berpengaruh dalam pembentukan konstruksi maskulinitas tersebut. Masalah juga muncul dalam pemaknaan budaya dalam konteks maskulinitas dan femininitas yang memberikan prasarat bahwa seseorang dapat bertahan hidup (dalam kompetisi) jika dan hanya jika mengadopsi nilai-nilai maskulin. Cara kerja budaya seperti inilah yang sarat dengan nilai-nilai patriarki.
Lebih lanjut, bagaimana budaya patriarki ini bekerja?
1. Budaya patriarki melakukan pembakuan dan membentuk dikotomi antara laki-laki-perempuan serta maskulin-feminin
2. Budaya patriarki memberikan nilai lebih pada sifat maskulin kemudian mengidentikan maskulin dengan pemimpin, dominan, lebih berwibawa, lebih tegas, dan sebagainya
3. Budaya patriarki mengatur bagaimana sifat maskulin dan feminine harus diekspresikan dengan cara yang dipertentangkan dan cenderung merugikan
4. Bersifat heteronormatif sehingga tidak mengenal homoseksual
Kebanyakan kasus kekerasan dalam masyarakat dapat dianalisis dalam dimensi bagaimana sifat maskulin diekspresikan. Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, penindasan buruh oleh majikan, merupakan potret peristiwa yang sarat penyalahgunaan sifat maskulin ini melalui cara berpikir yang begitu patriarkis. Di sisi lain, menarik pula untuk melihat bagaimana maskulinitas dan pencitraan laki-laki ini dimanfaatkan oleh kapitalisme. Keyakinan akan sosok laki-laki yang sempurna adalah laki-laki yang kuat, kompetitif, dan dominan kemudian menyebabkan banyak laki-laki terjebak dalam produk kapitalis untuk memenuhi dan membuktikan kelaki-lakiannya. Hal ini kemudian memunculkan ideom-ideom sex tentang kelaki-lakian yang dikomodifikasi oleh pasar.


Sumber gambar : http://books.google.co.id/books/about/Maskulinitas.html?id=_tdESwAACAAJ&redir_esc=y