Dunia anak-anak dianggap sebagai dunia yang paling indah. Dunia
penuh mimpi dan imajinasi yang tak terhingga. Anak-anak selalu punya
cerita untuk dunianya sendiri. Namun kerap kali, cerita-cerita itulah
yang tak mampu dipahami oleh orang dewasa. Namun indahnya dunia
anak-anak tak selamanya membuat mereka bahagia. Yaitu jika ada orang
dewasa dan orang terdekat yang merenggutnya.
Masih hangat di
telinga kita bagaimana kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
belakangan mengusik perhatian publik. Siapa sangka, RI (11 tahun) bocah
manis tak berdosa akhirnya meninggal pasca kekerasan seksual yang
dilakukan oleh ayah kandungnya. Ya, tentunya semua orang mengutuk
kekejaman ayah RI yang tega memperkosa anaknya sendiri.
Kisah RI hanya satu dari banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak. Di Indonesia sendiri, setiap tahunnya kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai ribuan jumlahnya. Dari data yang dirilis Komnas Perlindungan Anak, kasus kekerasan terhadap anak kian meningkat. Tahun 2009 tercatat 1.552 kasus, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 2335 kasus. Sedangkan tahun 2011 meningkat menjadi 2508 kasus. Kekerasan terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang tua kandung, teman, tetangga, orang tua tiri, guru, dan saudara.
Sayangnya, kompleksitas kasus kekerasan seksual terhadap anak sejalan dengan mitos-mitos yang menyertainya. Maria Hartiningsih (2003) melakukan pengkajian tentang mitos-mitos seputar kekerasan seksual pada anak. Ia menyayangkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan merupakan masalah yang dianggap luas sehingga keberadaannya sering diabaikan masyarakat dan negara. Faktanya, hampir semua peristiwa kekerasan seksual terhadap anak tak pernah ditanggapi pejabat pemerintah secara serius. Mulai dari pernyataan Mendikbud yang menyudutkan siswi SMP korban perkosaan sebagai ‘gadis nakal’ dan melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Dan tak ketinggalan, yang masih hangat di telinga publik adalah pernyataan kontroversial dari calon Hakim Agung, Daming Sanusi yang mengatakan bahwa antara korban dan pelaku perkosaan sama-sama menikmati. Begitulah potret kelucuan orang-orang Indonesia dalam merespon kasus kekerasan seksual pada anak.
Selain itu, ada pula mitos lainnya bahwa hanya anak perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Padahal tidak menutup kemungkinan anak laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual dari laki-laki dewasa atau pun dari teman sebayannya. Eksploitasi seksual terhadap anak umumnya juga disebabkan karena himpitan ekonomi. Sehingga, banyak anak-anak yang kemudian terjebak pada tindak perdagangan anak atau pun prostitusi. Bahkan yang paling mengerikan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan sangat rentan untuk menderita penyakit menular seksual. Dampak yang dialami pun lebih parah jika dibandingkan orang dewasa atas alasan faktor fisik dan psikologis.
Anak-anak rentan mengalami kelainan seperti keengganan bersosialisasi, kecemasan, penyimpangan perilaku seksual, bahkan yang paling berbahaya adalah depresi hingga bunuh diri. Tidak jarang, anak korban kekerasan seksual mengalami persoalan yang terbawa hingga usianya menginjak dewasa. Seksual aktif, biasanya menjadi dampak yang dialami korban kekerasan seksual. Anak-anak yang aktif secara seksual lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan selanjutnya. Ketidaktahuan mereka dan lemahnya kontrol sekitar tidak jarang disalahgunakan orang untuk mengeksploitasi anak-anak secara seksual. Ini pula yang kemudian menyebabkan adanya perilaku seksual menyimpang yang dialami anak-anak. Apalagi keberadaan media yang saat ini semakin canggih, ditakutkan malah memfasilitasi anak-anak yang seksual aktif tersebut untuk menjadi aktor dalam video porno. Namun, yang perlu diperhatikan, posisi mereka tetaplah sebagai korban. Korban eksploitasi seksual dan korban media.
Kisah RI hanya satu dari banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak. Di Indonesia sendiri, setiap tahunnya kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai ribuan jumlahnya. Dari data yang dirilis Komnas Perlindungan Anak, kasus kekerasan terhadap anak kian meningkat. Tahun 2009 tercatat 1.552 kasus, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 2335 kasus. Sedangkan tahun 2011 meningkat menjadi 2508 kasus. Kekerasan terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang tua kandung, teman, tetangga, orang tua tiri, guru, dan saudara.
Sayangnya, kompleksitas kasus kekerasan seksual terhadap anak sejalan dengan mitos-mitos yang menyertainya. Maria Hartiningsih (2003) melakukan pengkajian tentang mitos-mitos seputar kekerasan seksual pada anak. Ia menyayangkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan merupakan masalah yang dianggap luas sehingga keberadaannya sering diabaikan masyarakat dan negara. Faktanya, hampir semua peristiwa kekerasan seksual terhadap anak tak pernah ditanggapi pejabat pemerintah secara serius. Mulai dari pernyataan Mendikbud yang menyudutkan siswi SMP korban perkosaan sebagai ‘gadis nakal’ dan melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Dan tak ketinggalan, yang masih hangat di telinga publik adalah pernyataan kontroversial dari calon Hakim Agung, Daming Sanusi yang mengatakan bahwa antara korban dan pelaku perkosaan sama-sama menikmati. Begitulah potret kelucuan orang-orang Indonesia dalam merespon kasus kekerasan seksual pada anak.
Selain itu, ada pula mitos lainnya bahwa hanya anak perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Padahal tidak menutup kemungkinan anak laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual dari laki-laki dewasa atau pun dari teman sebayannya. Eksploitasi seksual terhadap anak umumnya juga disebabkan karena himpitan ekonomi. Sehingga, banyak anak-anak yang kemudian terjebak pada tindak perdagangan anak atau pun prostitusi. Bahkan yang paling mengerikan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan sangat rentan untuk menderita penyakit menular seksual. Dampak yang dialami pun lebih parah jika dibandingkan orang dewasa atas alasan faktor fisik dan psikologis.
Anak-anak rentan mengalami kelainan seperti keengganan bersosialisasi, kecemasan, penyimpangan perilaku seksual, bahkan yang paling berbahaya adalah depresi hingga bunuh diri. Tidak jarang, anak korban kekerasan seksual mengalami persoalan yang terbawa hingga usianya menginjak dewasa. Seksual aktif, biasanya menjadi dampak yang dialami korban kekerasan seksual. Anak-anak yang aktif secara seksual lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan selanjutnya. Ketidaktahuan mereka dan lemahnya kontrol sekitar tidak jarang disalahgunakan orang untuk mengeksploitasi anak-anak secara seksual. Ini pula yang kemudian menyebabkan adanya perilaku seksual menyimpang yang dialami anak-anak. Apalagi keberadaan media yang saat ini semakin canggih, ditakutkan malah memfasilitasi anak-anak yang seksual aktif tersebut untuk menjadi aktor dalam video porno. Namun, yang perlu diperhatikan, posisi mereka tetaplah sebagai korban. Korban eksploitasi seksual dan korban media.
Penanganan yang Terhambat
Moralitas, sepertinya tak lagi dianggap penting. Orang hanya mementingkan nafsu dan hasrat untuk mengontrol orang lain. Mengontrol tubuh dan seksualitas orang lain, bahkan anaknya sendiri. Kasus kekerasan seksual dan perkosaan terhadap anak relatif membutuhkan waktu lama untuk berhasil diungkap. Kecenderungan pelaku perkosaan yang berasal dari keluarga korban terkadang menjadi kendala untuk mengungkap kasus tersebut.
Kepentingan penanganan hukum dengan meminta kesaksian dari korban masih mengalami hambatan jika pelakunya keluarga sendiri. Ada kecenderungan korban tertutup atau bahkan sengaja menutup-tutupi identitas pelaku perkosaan. Tidak hanya pada kasus RI, di kebanyakan kasus lainnya pun juga mengalami masalah serupa.
Pengalaman beberapa lembaga layanan dalam mendampingi anak korban perkosaan dapat dijadikan pelajaran. Kekerasan seksual terhadap anak cukup sulit untuk diproses secara hukum. Apalagi jika pelakunya orang terdekat atau keluarganya sendiri. Penanganan kasus kekerasan seksual anak masih terhambat dalam hal penyediaan bukti dan penghadiran saksi.
Pertama, karena korban masih berstatus anak sehingga cenderung sulit untuk menggali informasi yang komprehensif. Selain disebabkan ketakutan anak-anak bersaksi, korban seringkali merasa tidak tega hati untuk terbuka bahwa pelaku adalah keluarganya sendiri terutama ayahnya sendiri. Hal ini dikarenakan ikatan psikologis dan posisi seorang anak yang tergantung secara ekonomi kepada ayahnya. Sehingga jika melapor, korban takut membahayakan ayahnya dan membuka aib keluarga.
Kedua, di Indonesia belum ada jaminan perlindungan saksi yang efektif melalui undang-undang. Kebanyakan pada kasus kekerasan seksual pada anak, jarang sekali ada orang yang mau bersaksi untuk membela anak dan hak-haknya. Ketakutan akan ancaman pelaku dan merasa direpotkan oleh proses yang dilakukan aparat penegak hukum menjadi sederetan alasan yang melatari hambatan tersebut.Ini yang menyulitkan proses penggalian saksi, akibatnya kesaksian untuk kasus perkosaan anak tidak cukup kuat untuk alat bukti.
Kedua alasan tersebut dalam beberapa kasus menjadi pemicu dicabutnya laporan atau dihentikannya perkara oleh pihak keluarga. Umumnya, kasus dicabut dan dihentikan karena sulit untuk mencari bukti dan mengumpulkan kesaksian.Begitulah rumitnya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dihadapi lembaga layanan selama ini.
Mengacu pada fakta diatas, maraknya kekerasan seksual pada anak seharusnyalah menjadi ‘cambuk’ untuk masyarakat dan pemerintah Indonesia. Seakan mengajak kita untuk setidaknya bertanya pada diri masing-masing : sudahkah kita melindungi anak-anak kita? Sudahkah kita menganggap kekerasan pada anak sebagai persoalan penting? Fakta-fakta di atas menjadi pekerjaan besar untuk kita bangsa Indonesia. Harus segera dimulai, aksi sinergi berawal dari diri sendiri, keluarga, komunitas, hingga negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Selain itu, peran-peran lembaga pendampingan anak dan layanan psiko sosial menjadi penting dalam hal ini. Kasus kekerasan seksual pada anak perlu ditangani secara radikal dan diadvokasi secara nasional bahkan global. Tak kalah penting, menindak tegas serta memberikan sanksi sosial bagi mereka yang menyepelekan kasus kekerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran HAM. Kejahatan yang menghancurkan generasi masa depan. Sehingga jangan lagi ada kekonyolan dan lelucon-lelucon untuk menanggapinya.
Moralitas, sepertinya tak lagi dianggap penting. Orang hanya mementingkan nafsu dan hasrat untuk mengontrol orang lain. Mengontrol tubuh dan seksualitas orang lain, bahkan anaknya sendiri. Kasus kekerasan seksual dan perkosaan terhadap anak relatif membutuhkan waktu lama untuk berhasil diungkap. Kecenderungan pelaku perkosaan yang berasal dari keluarga korban terkadang menjadi kendala untuk mengungkap kasus tersebut.
Kepentingan penanganan hukum dengan meminta kesaksian dari korban masih mengalami hambatan jika pelakunya keluarga sendiri. Ada kecenderungan korban tertutup atau bahkan sengaja menutup-tutupi identitas pelaku perkosaan. Tidak hanya pada kasus RI, di kebanyakan kasus lainnya pun juga mengalami masalah serupa.
Pengalaman beberapa lembaga layanan dalam mendampingi anak korban perkosaan dapat dijadikan pelajaran. Kekerasan seksual terhadap anak cukup sulit untuk diproses secara hukum. Apalagi jika pelakunya orang terdekat atau keluarganya sendiri. Penanganan kasus kekerasan seksual anak masih terhambat dalam hal penyediaan bukti dan penghadiran saksi.
Pertama, karena korban masih berstatus anak sehingga cenderung sulit untuk menggali informasi yang komprehensif. Selain disebabkan ketakutan anak-anak bersaksi, korban seringkali merasa tidak tega hati untuk terbuka bahwa pelaku adalah keluarganya sendiri terutama ayahnya sendiri. Hal ini dikarenakan ikatan psikologis dan posisi seorang anak yang tergantung secara ekonomi kepada ayahnya. Sehingga jika melapor, korban takut membahayakan ayahnya dan membuka aib keluarga.
Kedua, di Indonesia belum ada jaminan perlindungan saksi yang efektif melalui undang-undang. Kebanyakan pada kasus kekerasan seksual pada anak, jarang sekali ada orang yang mau bersaksi untuk membela anak dan hak-haknya. Ketakutan akan ancaman pelaku dan merasa direpotkan oleh proses yang dilakukan aparat penegak hukum menjadi sederetan alasan yang melatari hambatan tersebut.Ini yang menyulitkan proses penggalian saksi, akibatnya kesaksian untuk kasus perkosaan anak tidak cukup kuat untuk alat bukti.
Kedua alasan tersebut dalam beberapa kasus menjadi pemicu dicabutnya laporan atau dihentikannya perkara oleh pihak keluarga. Umumnya, kasus dicabut dan dihentikan karena sulit untuk mencari bukti dan mengumpulkan kesaksian.Begitulah rumitnya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dihadapi lembaga layanan selama ini.
Mengacu pada fakta diatas, maraknya kekerasan seksual pada anak seharusnyalah menjadi ‘cambuk’ untuk masyarakat dan pemerintah Indonesia. Seakan mengajak kita untuk setidaknya bertanya pada diri masing-masing : sudahkah kita melindungi anak-anak kita? Sudahkah kita menganggap kekerasan pada anak sebagai persoalan penting? Fakta-fakta di atas menjadi pekerjaan besar untuk kita bangsa Indonesia. Harus segera dimulai, aksi sinergi berawal dari diri sendiri, keluarga, komunitas, hingga negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Selain itu, peran-peran lembaga pendampingan anak dan layanan psiko sosial menjadi penting dalam hal ini. Kasus kekerasan seksual pada anak perlu ditangani secara radikal dan diadvokasi secara nasional bahkan global. Tak kalah penting, menindak tegas serta memberikan sanksi sosial bagi mereka yang menyepelekan kasus kekerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran HAM. Kejahatan yang menghancurkan generasi masa depan. Sehingga jangan lagi ada kekonyolan dan lelucon-lelucon untuk menanggapinya.
Defirentia One M.
Staf Humas dan Media Rifka Annisa WCC Yogyakarta; Anggota Youth Advocate untuk isu kesehatan seksual dan reproduksi Aliansi Satu Visi (ASV) Indonesia (2012-sekarang)
No comments:
Post a Comment