Industrialisasi Migas
dan Bojonegoro kini bagaikan dua sisi mata uang. Tak bisa dilepaskan, meski
kadang kontradiktif. Inginya membuat daerah maju dan masyarakat sejahtera,
namun masih menelusuri jalan terjal. Perda konten lokal belum terlalu kuat di
ranah implementasi hingga tujuannya untuk mengadvokasi dan menjamin
keterlibatan sumber daya lokal mulai dipertanyakan. Demikian pula upaya
pemerintah daerah mengajukan uji materiil UU 33 tahun 2004 ke Mahkamah
Konstitusi (MK), prosesnya menuai jalan buntu. Meski demikian, migas terlanjur
membawa harapan tak kecil bagi pemangku kepentingan di Bojonegoro. Mulai
masyarakat yang ingin bekerja di migas, NGO berharap menjadi mitra perusahaan besar
dengan memanfaatkan CSR, kontraktor-kontraktor lokal berupaya mencari celah
dengan legitimasi perda konten lokal hingga pemerintah daerah yang beraharap
semakin besarnya pundi-pundi APBD melalui peningkatan dana bagi hasil. Hal
tersebut didukung pemberitaan media yang menempatkan migas sebagai arus utama (mainstream) hingga mampu mengarahkan
wacana masyarakat untuk minimal mengerti apa yang sedang terjadi di Bojonegoro
dengan industri migasnya.
Tulisan ini tidak
bermaksud secara khusus mengkritisi realitas di atas. Karena tak bisa
dipungkiri, sejauh pandangan awam, mengambil contoh pemerintah daerah, nampak
berbaik hati untuk mengadvokasi kepentingan warganya agar mampu menikmati
berkah migas. Mungkin hanya persoalan di lapangan, agar kebaikan pemerintah
daerah tidak terkesan setengah-setengah dan masyarakat tidak kehilangan kepercayaan
pada institusi tersebut. Begitu halnya masyarakat, tak bisa pula dipersalahkan mempunyai
harapan besar pada industri migas. Jika mampu terlibat di dalamnya, impian cepat
merengkuh materi diharap menjadi kenyataan.
Namun sebetulnya banyak orang paham jika migas
bukanlah sumber daya alam abadi alias unrenewable.
Cara pandang itu yang musti ditekankan (kembali). Memang semenjak kita duduk di
bangku SD, pelajaran IPA sudah berkata demikian, namun kesedaran kolektif akan hal
tersebut hilang manakala kita sebagai orang Bojonegoro pragmatis memaknai dan
memanfaatkan berlimpahnya sumber daya alam. Sumber-sumber ekonomi utama maupun
ikutan dari migas memang sedang menggeliat untuk saat ini. Ambil contohnya
orang atau kelompok orang berlomba mendirikan CV, atau usaha rumah makan,
perhotelan dan properti. Namun tak ada jaminan sumber-sumber ekonomi tersebut
berjalan langgeng. Kekhawatiran yang muncul yaitu sebagian orang akan bingung
manakala proyek migas sampai suatu titik akhir, lantas usaha-usaha tersebut tak
laku lagi. Kekhawatiran yang boleh dikata masih terlalu dini. Kas sumur migas
masih terlampau banyak yang baru akan disentuh. Namun mengawal atau membiarkan industrialisasi
migas tetap berjalan diiringi pengurangan dependensia pada sektor tersebut
nampak menjadi upaya lebih arif dan berkelanjutan.
Industri Kreatif dan Persoalan Sinergitas
Pembangunan
Saat ini usaha
ekonomi kreatif menjadi diskusi hangat. Di tingkat pusat, pergantian
nomenklatur dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyiratkan usaha ekonomi kreatif menjadi
harapan baru dalam pemerataan perekonomian nasional. Bagi daerah, ekonomi kreatif merupakan sarana mengembangkan ekonomi
secara signifikan dan berkelanjutan dengan memanfaatkan sektor dan potensi
diluar potensi konvensional, misalnya migas dan pertanian. Potensi tersebut
tentunya didapatkan dari inovasi dan eksploitasi kreativitas yang muncul dari
sumber daya manusia sehingga nantinya dapat berkontribusi untuk sosial dan
ekonomi masyarakat. Pada dasarnya pengembangan ekonomi kreatif dapat dijalankan dalam kerangka
kreativitas di 14 subsektor, antara lain: periklanan,
arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video film &
fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan &
percetakan, layanan komputer & piranti lunak, televisi dan radio, kegiatan
berbasis riset & pengembangan (Pangestu, 2008:xii).
Di Bojonegoro usaha
ekonomi kreatif telah mendapat ruang, bahkan sebelum dinamika migas menghangat.
Potensi kreatif tumbuh, menjadi budaya dan sumber ekonomi masyarakat misalnya
ada di Sukorejo (Kota), Kasiman dan Margomulyo dengan kerajinan kayu, Gondang
dengan batu Onyx serta Malo dengan gerabahnya. Kiranya usaha itu yang sudah
mapan. Jejaring dan pemasaran sudah lumayan luas. Namun masih ada yang
lamat-lamat terdengar, misalnya kerajinan pelepah pisang di Boureno. Kini
potensi kreatif nampak berkembang. Masih bertumpu pada subsektor
kerajinan, pemerintah daerah mencoba memobilisasi masyarakat untuk merancang
desain, menjalankan usaha hingga memakai batik Jonegoroan. Inisiasi komunitas
masyarakat sendiri juga muncul dengan usaha desain dan kaos yang memuat
kearifan lokal. Dalam wujud institusi, usaha-usaha kreatif mulai
diaktualisasikan dalam desa wisata, misalnya Desa wisata Jono, Tanjungharjo dan
Ringinrejo. Selain itu, geliat komunitas seni lokal–baik kontemporer maupun
tradisi–tidak sepenuhnya redup. Pendopo Dinas Budpar, alun-alun dan halaman eks-RKPD
mulai menjadi ruang publik bagi bermacam komunitas. Tak hanya komunitas seni
pertunjukan, pegiat teknologi informasi, fotografi dan modeling juga mulai
menunjukkan eksistensinya.
Potensi
kreativitas masyarakat Bojonegoro sebenarnya tak kalah dengan daerah lain dan ada
potensi untuk bersaing dengan daerah mapan kreativitas, misalnya Jogja, Bandung
atau Solo. Semangat komunitas sudah muncul, berarti ada pula simpanan modal
sosial yang cukup besar. Tinggal bagaimana dipantik, difasilitasi higga mampu
berkelanjutan untuk mengakumulasi modal finansial. Namun di sinilah
persoalannya. Cetak biru pembangunan ekonomi hingga menjadi industri kreatif
nampak belum tersedia. Fasilitasi pemerintah daerah sekedar eventual pun tidak
berkelanjutan. Festival yang dulunya besar semisal Bojonegoro Wood Fair (BWF)
kini kehilangan gema atau memang sudah tidak diselenggarakan. Padahal festival
tersebut sesuai dengan karakter pariwisata yang sifatnya In-situ. Potensi
dipromosikan di tempatnya berasal sekaligus membuka akses wilayah yang jauh
dari ibukota kabupaten. Sedangakan Bojonegoro expo di alun-alun kesan hiburan lebih
menonjol dari pada mengangkat dan memberdayakan potensi lokal. Demikian halnya
dengan potensi yang muncul belakangan ini, batik Jonegoroan. Meski pengrajin
mulai banyak namun daya beli masyarakat bisa dikata belum maksimal. Bisa pula
disebabkan batik tersebut belum terlalu mengakar dalam kehidupan masyarakat dan
menjadi kebanggan bersama. Semantara ini Batik Jonegoroan masih terlalu
dilembagakan lantas pihak-pihak tertentu saja yang memakai, misalnya anak
sekolahan dan pegawai negeri.
Selain menghadapi persoalan tersebut, industri
kreatif tak dipungkiri terkait erat dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Paling erat dan berhubungan langsung adalah pembangunan pariwisata. Adanya destinasi wisata, apalagi
destinasi wisata yang bagus dan menarik banyak pengunjung, sekaligus sebagai
sarana mempromosikan dan menjual kreativitas masyarakat. Namun harus diakui,
hingga kini sektor tersebut belum menjadi prioritas dalam pembangunan di
Bojonegoro. Bidang pariwisata dibiarkan berjalan apa adanya tanpa ada sentuhan
baru. Padahal destinasi wisata yang bagus dan terkenal adalah kebanggan bagi
warga daerah. Terlebih ketika mampu memberi dampak ekonomi bagi warga
sekitarnya, terutama yang bergerak dalam usaha ekonomi kreatif. Desa wisata
yang saat ini muncul, tak menutup kemungkinan akan mencari jalan sendiri untuk
mempromosikan potensi desanya ketika sinergi dengan potensi wisata utama belum
ada. Tidak berhenti di situ, persoalan sinergitas akan tetap muncul manakala
persoalan akses terutama infrastruktur jalan masih menjadi persoalan. Semoga
dengan perbaikan jalan provinsi maupun peningkatan pavingisasi semakin
mendekatkan dan memudahkan masyarakat daerah maupun luar daerah dengan
potensi-potensi kreatif di Bojonegoro.
Berharap pada Industri
Kreatif
Potensi kreatif
masyarakat tak mungkin dibiarkan begitu saja. Apalagi mengusung semangat besar,
yaitu mencari alternatif untuk tidak semata berharap pada industrialisasi
migas. Alternatif yang sejatinya telah tersedia di
depan mata dan bahkan telah dijalankan, hanya saja lebih membutuhkan keseriusan
dalam mengembangkannya. Ruang-ruang kreativitas representatif diharapkan
semakin muncul dimana-mana, baik yang diupayakan komunitas sendiri maupun ada
campur tangan pemerintah daerah untuk mengusahakan ruang-ruang tersebut. Lantas fasilitasi pemerintah daerah berlanjut
dengan mengintegrasikan dalam suguhan eventual secara rutin setiap tahunnya.
Semisal mengambil momentum hari jadi kabupaten sebagai puncak ruang kreativitas
bagi masyarakat. Mulai dari seni pertunjukan, potensi kerajinan, kuliner,
hingga kreativitas masyarakat berbasis teknologi modern. Promosi event secara
massif menjadi syarat utama. Kini mempromosikan Bojonegoro sebetulnya tak
sulit. Tak bisa dielakkan, migas secara perlahan menjadikan daerah ini dikenal.
Tentu kita tetap harus memanfaatkan momentum itu sembari menunjukkan bahwa
Bojonegoro dikenal tak hanya lewat migas yang masih berselimut kontradiksi,
namun juga potensi kreativitas masyarakatnya yang tersebar di berbagai wilayah
dan lebih menjanjikan pemerataan ekonomi.
Selain itu, menyambungkan
pada sumber-sumber pembiayaan tetap kita anggap penting. Dengan catatan tak
berlangsung terus menerus dan tahu kapan untuk berhenti ketika industri kreatif
dirasa mampu mandiri. Semisal PNPM mandiri pariwisata yang masih relevan
dijadikan kail pemantik usaha kreatif di desa wisata. Dan kini yang paling
hangat di Bojonegoro, tak salah dan bisa kita anggap penting ketika potensi
kreatif masyarakat disambungkan dan diadvokasikan dalam pembahasan rancangan peraturan
daerah (raperda) Corporate Social
Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Harapannya, CSR
dalam berbagai bentuknya dari perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di
Bojonegoro mampu diarahkan untuk menumbuhkankembangkan industri kreatif.
Namun dari kesemua itu,
kembali berpulang pada mindset
pemangku kepentingan di Bojonegoro. Sudahkah menganggap industri kreatif
penting dan menjadikannya sebagai salah satu arus utama pembangunan ekonomi
daerah? Harapan-harapan di atas kiranya belum bisa berwujud nyata ketika
potensi kreatif masih dikesampingkan atau sekedar ada fasilitasi setelah itu
hilang tak berbekas. Lantas hanya menunggu komunitas kreatif menemukan momentum
dan semangantnya sendiri. Dan migas tetap menjadi tumpuan utama sekaligus
melanggengkan pemujaan pada pertumbuhan ekonomi dari pada kemakmuran ekonomi daerah
yang lebih merata.
*) Tulisan ini dimuat di Tabloid Blok Bojonegoro Edisi Mei
2013
Penulis:
Danang Wahyuhono (Peneliti di Artca Indonesia-Konsultan Pariwisata dan
Pemberdayaan Masyarakat) asal Ngasem Bojonegoro
Defirentia One Muharomah (Manajer Humas dan Media-Rifka Annisa Yogyakarta)
No comments:
Post a Comment