Wednesday, March 3, 2010

Dilema Partai Islam dalam Demokrasi di Indonesia

Keterlibatan islam dalam politik Indonesia selama ini ternyata menyajikan wacana yang cukup menarik terkait kesulitan dan kegagalan partai-partai islam untuk menempati posisi tertinggi dalam demokrasi. Hal tersebut dapat diamati dari dinamika perolehan suara partai-partai islam dalam perjalanan pemilu Indonesia sejak tahun 1955 sampai dengan 2009 ini. Dalam Pemilu 1955 misalnya, gabungan suara Masyumi dan NU saja mencapai 39% lebih yang notabene mampu mengungguli PNI (pemenang Pemilu 1955) yang memperoleh sekitar 22% suara (http://www.jakartabeat.net). Namun sebagaimana diketahui, Masyumi dan NU (meskipun sama-sama partai islam) sejak awal sudah terpisah secara ideologis sehingga keduanya hanya mampu menempati posisi kedua dan ketiga dalam pemilu. Selanjutnya, dalam pemilu orde baru justru keberadaan partai islam ini juga tidak mampu mencapai perolehan suara terbanyak karena sistem yang ada telah menobatkan partai Golkar sebagai partai yang dominan. Kemenangan Golkar dalam waktu yang cukup lama ini menjadi mesin politik Suharto, penguasa rezim saat itu, untuk tetap mempertahankan bahkan memperkuat power-nya. Kecenderungannya keberadaan partai lain yang turut serta dalam pemilu seakan-akan hanya sebagai penggembira pesta demokrasi supaya partai Golkar tidak tampak sebagai single fighter yang dengan mudah memenangkan pemilu. Bahkan pasca reformasi pun, posisi partai islam dalam pemilu tidak juga memberikan perubahan yang cukup signifikan. Malahan dalam pemilu terakhir tahun 2009 ini, posisi dan prestasi partai-partai islam semakin menurun meskipun banyak didirikan partai islam baru baik yang mengusung revitalisasi ideologi partai atau pun hanya sebagai pelarian para elit partai dari perpecahan internalnya.
Dinamika perjuangan partai islam sejak awal perpolitikan Indonesia di atas dapat menjadi refleksi untuk menjelaskan tentang betapa beratnya kompetisi yang dihadapi partai islam dalam pemilu akhir-akhir ini. Fenomena deideologisasi kepartaian menjadikan partai-partai islam semakin ‘canggung’ seperti kehilangan idealisme politik yang dibawanya sejak awal. Persaingan yang semakin berat dengan partai-partai sekuler yang bersifat nasionalis dan pragmatis menjadikan partai-partai islam menggerakkan haluan politiknya lebih ke tengah sehingga memunculkan suatu stereotipe baru bertajuk ‘partai nasionalis-relijius’. Ironisnya, atas nama persaingan untuk memperjuangkan kepentingan islam, beberapa elit partai islam rela kehilangan ‘muka’ dengan bersikap tidak konsisten dan sering terlibat konflik politik secara internal hingga menimbulkan perpecahan menjadi partai baru.
Maka selanjutnya perlu kita tinjau kembali, mengapa pembentukan partai-partai islam di Indonesia justru gagal menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan? Apakah pertentangan ideologis (islam vis-à-vis demokrasi) mampu menjelaskan lemahnya kekuatan partai islam dalam pesta demokrasi kontemporer di Indonesia?

Partai-partai Islam dalam pemilu :dilematis
Perjalanan politik partai islam dalam pemilu 2009 dapat dikatakan semakin menurun serta menimbulkan kekecewaan dan keengganan bagi sebagian umat islam untuk mengafiliasikan kepentingannya di partai tersebut. Data KPU menyebutkan bahwa dalam pemilu 2009 lalu hanya 4 (empat) partai islam dari 9 (sembilan) partai yang mencapai perolehan suara diatas dua setengah persen dengan spesifikasi perolehan suara : PKS memperoleh 7,88% atau sekitar 8.206.955 suara (menempati posisi keempat), PAN (partai nasionalis namun identik dengan basis pendukung islam) memperoleh 6,01% atau sekitar 6.254.580 suara (menempati posisi kelima), PPP memperoleh 5,32% atau sekitar 5.533.214 suara (menempati posisi keenam), sedangkan PKB menempati posisi ketujuh memperoleh 4,94% atau sekitar 5.146.122 suara (http://www.detiknews.com/jumlahsuara). Hasil pemilu 2009 menggambarkan bahwa posisi dan kekuatan partai islam cenderung lemah dalam kompetisi demokrasi di Indonesia. Analoginya jika mayoritas penduduk Indonesia muslim, seharusnya partai islam bisa meraih simpati dan dukungan lebih banyak. Namun yang terjadi sebaliknya banyak pihak yang beralih ke partai-partai dengan ideologi yang lebih universal. Maka selanjutnya partai-partai islam menerapkan strategi baru untuk mempertahankan eksistensinya dan untuk mengakomodasi kelemahannya dalam kompetisi politik. Pola yang dapat kita amati dalam politik kontemporer saat ini merupakan suatu kecenderungan adanya politik kartel, meminjam istilah Kuskridho Ambardi, dimana partai-partai lebih cenderung mengalami deideologisasi dan membangun koalisi dengan alasan-alasan pragmatis dan kepentingan jangka pendek. Namun, manakala partai-partai islam mencoba menanggalkan eksklusifisme ideologinya untuk lebih bergerak dan merapat ke ideologi jalan tengah demokrasi, yang terjadi justru mereka kehilangan pendukungnya.
Lantas, beberapa orang pun membenarkan pendapat para ilmuwan politik barat bahwa kesulitan kelompok atau pun partai islam untuk menduduki posisi terdepan dalam kompetisi demokrasi disebabkan oleh perbedaan aspek ideologis dan budaya politik. Para ilmuwan politik dan ahli tentang masyarakat muslim berargumen bahwa islam dan demokrasi pada dasarnya merupakan dua hal yang bertentangan dan tidak saling toleransi. Salah satunya Samuel Huntington yang mengusung istilah clash of civilization dalam bukunya The Third Wave (1997). Bagi mereka yang fanatic dengan Huntington, kemungkinan akan menyimpulkan bahwa fenomena perpecahan suara partai islam serta melemahnya kekuatan partai islam dalam kompetisi demokrasi disebabkan oleh pertentangan dari sisi ideologis. Kelompok ini akan berpendapat, keberadaan partai islam (yang ideologi islamnya masih kuat) di negara yang menerapkan demokrasi hampir menyerupai barat (yang identik dengan sekulerisme), tidak akan mampu mendominasi dan mengakomodasi kepentingan kelompoknya karena secara natural islam dan demokrasi seperti air dan minyak. Elemen keduanya tidak akan dapat disatukan, namun masih ada harapan untuk saling menginfiltrasi satu sama lain meskipun akan banyak menemui konflik dan dilema.
Namun penulis berpendapat, penggunaan sudut pandang Huntington di atas tidak begitu tepat untuk menjelaskan lemahnya posisi partai islam dalam demokrasi. Dalam hal ini perlu dicoba analisis secara stuktural dan fungsional sebagai perbandingan analisis aspek ideologis untuk menjelaskan melemahnya kekuatan partai islam dalam demokrasi kontemporer. Secara umum, fenomena perpecahan partai islam yang terjadi akhir-akhir ini dapat kita amati melalui beberapa alur pemikiran.
Pertama, adanya fragmentasi umat islam dalam berbagai partai dengan perbedaan kepentingan visi dan misi justru melemahkan posisi dan kekuatan suara mereka dalam politik. Dalam hal ini, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, seorang ulama India, berargumen bahwa munculnya banyak partai di negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara islam republik, ternyata akan memunculkan suatu pesimistis bahwa tidak akan terjadi perpecahan antar umat islam (Syafiyurrahman,2008:35). Argumen di atas didasari pengamatannya di beberapa negara seperti India dan Pakistan. Begitu pula di Indonesia, partai islam yang seharusnya mampu menjadi kendaraan politik serta kekuatan kelompok islam untuk mewujudkan kepentingannya menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi ini, justru menjadi pemicu konflik. Tidak mungkin didalamnya sepi dari perselisihan mengingat masing-masing partai islam saling berlomba dan berambisi untuk meraih posisi tertinggi dalam demokrasi. Dengan berbagai cara semua partai tersebut berkompetisi dan saling menjatuhkan satu sama lain dengan sama-sama mengusung janji pembaharuan yang berbeda. Sebagai contohnya, ketika pemilu 2009 terjadi perpecahan dalam tubuh PAN (Partai Amanat Nasional) menjadi PMB (Partai Matahari Bangsa) maupun yang terjadi antara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PKNU. Masing-masing partai islam pandai membuat retorika untuk mengunggulkan partainya dan menjatuhkan partai lain. Masyarakat dibuat bingung untuk menentukan kembali pilihannya, apakah tetap pada partai lama ataukah partai baru yang lebih progresif. Maka hal tersebut menjadi kesempatan bagi partai lain untuk merebut simpati pendukung partai-partai islam yang sudah kehilangan kepercayaan pendukungnya. Hal tersebut terbukti ternyata dalam pemilu 2009, partai islam tidak mampu menembus posisi tiga besar.
Kedua, sebagian partai islam mengalami penurunan character dan penyimpangan komitmen awal untuk menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik. Hal ini bisa kita amati dari perilaku para elite partai-partai tersebut yang cenderung inconsistent, kurang percaya diri, dan kehilangan trust terhadap konstituennya.
Dalam hal ini Prof. Dr. Miriam Budiarjo (2008) berpendapat bahwa penguatan fungsi pendidikan serta sosialisasi politik bagi suatu partai penting untuk meraih banyak dukungan yang mempunyai loyalitas dan solidaritas yang kuat terhadap kepentingan nasional. Namun, adakalanya loyalitas yang diajarkan justru loyalitas terhadap partai masing-masing diatas loyalitas terhadap Negara (Budiarjo, 2008:408). Atas nama demokrasi, para pengikutnya dididik untuk melihat dirinya dalam konteks yang sempit sehingga dapat mengakibatkan pengotakan dan menghambat proses integrasi. Tarik ulur kepentingan kerap menimbulkan konflik internal antar pendukung sebuah partai islam. Lantas dengan mengatasnamakan nilai-nilai demokrasi dan pemurnian asas kepartaian, pendukung yang merasa tidak sepaham lagi dengan partai yang semula didukungnya beralih ke partai lain atau mendirikan partai saingan. Perilaku elit partai islam yang sering berkonflik sesama konstituennya, terbentuknya kubu dalam satu partai, kemudian pecahnya kubu partai yang bersangkutan sehingga mendirikan partai baru sebagai saingan, ternyata semakin menjadikan citra partai tampak buruk di mata pemilih. Ini memang soal demokrasi, namun tidak selayaknya demokrasi memecah belah kekuatan kelompok islam tersebut. Maka, masyarakat telah dibuat kecewa karena secara fungsional beberapa partai islam mengalami penurunan kinerja. Muncul suatu anggapan pesimis bagi pendukung tentang prospek partai islam di masa depan karena kegagalan dalam character building.
Ketiga, meminjam argumen Abdul Gafar Karim (2009), bahwa sebagian besar partai islam masih tergantung pada figure. Figur siapa yang diunggulkan maka itulah yang akan menjadi personifikasi citra dan kinerja partai tersebut. Bagi masyarakat pada umumnya perilaku figure partai islam akan dikaitkan dengan nilai-nilai keislaman yang dibawa. Jika ada seorang atau beberapa elit partai islam yang menentang nilai-nilai tersebut dengan terlibat korupsi, kriminalitas, atau pun hal negative lainnya, secara otomatis masyarakat akan kehilangan trust pada partai yang bersangkutan. Dilema ini dapat dikatakan sebagai ‘degradasi moral elit yang berdampak pada degradasi citra partai secara keseluruhan’. Seperti dikatakan diawal meskipun beberapa partai islam telah mengklaim dirinya sebagai partai yang lebih nasionalis, namun pencitraan islam masih sangat mengakar dalam pikiran rakyat.

Prospek Partai Islam di Masa Depan
Melihat kasus yang terjadi di Indonesia, penulis sependapat dengan Saiful Mujani (2007) yang berargumen bahwa perbedaan aspek ideologis maupun budaya politik antara islam dan demokrasi barat tidak mampu menjustifikasi secara total untuk menjelaskan dilema kelompok atau pun posisi partai islam dalam kompetisi demokrasi. Menurut Saiful Mujani, jika pengamatan terhadap masyarakat muslim hanya dibatasi pada pemikiran politik, partai, dan gerakan islam kontemporer, hal tersebut dapat menjadikan penilaian tentang hubungan pertentangan antara islam dan demokrasi akurat karena islam tidak mendukung demokrasi yang identik dengan sekulerisasi politik (Mujani, 2007:51-52). Namun, pengamatan tersebut hanya didasarkan pada satu varian islam sehingga factor-faktor yang lain cenderung tidak teridentifikasi. Dalam hal ini, kita perlu memposisikan diri dan memberikan sudut pandang positif. Meskipun perpecahan partai-partai islam di Indonesia diargumenkan sebagai pemurnian nilai-nilai keislaman dan penguatan aspek ideologis partai, namun setidaknya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu kompetisi, ambisi dan perilaku elit partai yang berpengaruh terhadap aspek struktural dan fungsionalnya.
Penulis menekankan masyarakat Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terjebak dan membenarkan alur pemikiran Huntington dan pemikir liberal lainnya. Hal itu akan menimbulkan suatu persepsi negatif terhadap partai-partai islam bahkan terhadap islam sendiri. Islam dan politik tidak dapat dipisahkan artinya keduanya pun bisa saling membentuk sistem yang harmonis dalam demokrasi. Tidak seharusnya islam yang sarat dengan nilai-nilai ilahiyah dijadikan ‘kambing hitam’ untuk menjelaskan fenomena dan perilaku actor politik yang konfliktual. Begitu pula tidak seharusnya kita menyalahkan sistem demokrasi yang menjadi komitmen bersama bangsa-bangsa seluruh dunia sebagai alasan kegagalan politik kelompok islam di Indonesia.
Penulis yakin bahwa prospek dan harapan bagi partai islam untuk menguatkan posisi dan kekuatannya dalam demokrasi masa depan akan tetap ada jika masyarakat dan elit politik membangun optimisme bersama. Jika ingin tetap survive dalam kompetisi demokrasi di Indonesia sudah selayaknya partai islam mulai mengevaluasi perjalanannya selama ini. Evaluasi tersebut diharapkan mampu menjadi refleksi dalam penyusunan arah dan prioritas dalam pesta demokrasi masa depan yang tentunya akan semakin sulit. Beberapa langkah di bawah ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk upaya evaluasi tersebut.
Pertama, jika partai islam ingin memenangkan demokrasi pada pemilu mendatang, maka harus mengubah strategi koalisi. Koalisi dibentuk antar partai islam bukan justru berkompetisi untuk mencari koalisi dengan partai lain. Jika mengatasnamakan kepentingan kelompok islam dalam ajang kompetisi dan demokrasi, maka seharusnya partai-partai islam beraliansi dan mensinergikan kepentingannya satu sama lain. Lantas, jika partai islam gagal dalam pemilu, partai-partai yang awalnya sering merapat ke pemerintah, dalam sekali waktu perlu mencoba untuk menjadi oposisi dengan membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet). Kabinet bayangan ini diharapkan mampu menjadi upaya checks and balances kinerja pemerintahan. Melalui kabinet bayangan tersebut partai islam dapat mensinergiskan ide-ide maupun kepentingan untuk mengangkat isu-isu yang tidak popular tapi berpotensi menjadi ‘pemantik’ dalam kampanye selanjutnya.
Selain itu, koalisi dalam cabinet ini mampu menyatukan potensi-potensi kepemimpinan umat islam di Indonesia yang selama ini masih berserakan. Masalah partai-partai islam selama ini salah satunya adalah ketiadaan figure yang cukup kharismatik, kredibel, dan kompeten untuk bertanding dalam persaingan politik yang semakin berat. Itu dapat menjadi suatu potensi mengingat masih adanya patronase yang kuat pada figure (ulama, tokoh idola, dan sebagainya) di sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika berhasil hal tersebut setidaknya dapat menjadi langkah awal membangkitkan kembali kekuatan dan kesolidan umat islam dalam kompetisi politik di Indonesia.
Kedua, meminjam pendapat Encep Azis Muslim, secara soliter masing-masing partai islam harus mampu menyusun program (platform) dan jaringan yang kuat sehingga bisa mengkover seluruh wilayah Indonesia dari Aceh sampai Papua tanpa terhalang sekat-sekat ideologis maupun masalah keagamaan. Jika aspek ideologis tak mampu menjadi modal persaingan, maka yang perlu ditingkatkan adalah strategi untuk merencanakan dan komitmen untuk mewujudkan platform partai dalam kebijakan pemerintah. Selain itu, perlu adanya komitmen untuk penguatan kualitas dan karakter masing-masing partai islam. Para elit dan pendukung partai seharusnya mampu meminimalisir dan menghindari peluang munculnya konflik internal partai demi pengembalian citra partai dan kepercayaan pemilih.

Kegagalan partai islam dalam kompetisi demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini tidak tepat dijelaskan melalui alur berpikir ala Huntington karena kendala-kendala yang bersifat structural dan fungsional ternyata lebih berpengaruh. Aspek ideologis dan pemurnian asas kepartaian hanya dijadikan sebagai alasan partai-partai tersebut untuk berkompetisi. Kita perlu memandang positif segala permasalahan diatas karena pasti akan ada banyak harapan bagi islam untuk tetap menjadi kekuatan politik dalam persaingan demokrasi masa depan. Namun sebaliknya, persepsi negative justru menimbulkan sikap kecewa, egosentris, dan fanatisme golongan tertentu yang kemudian menyebabkan terpecahnya kekuatan partai islam sendiri dan hal tersebut justru menjadi kelemahan politik dalam kompetisi demokrasi di Indonesia.

Referensi
Al Mubarakfuri, Shafiyurrahman.(2008).Islam dan Politik. Jakarta:Pustaka At Tazkia.
Budiarjo, Miriam.Pengantar Ilmu Politik.(2008).Jakarta : PT. Gramedia.
Mujani, Saiful.(2007). Muslim Demokrat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Abdul Gaffar Karim, Mengecilnya Perolehan Suara Partai Islam, 11 April 2009,
191:mengecilnya-perolehan-suara-partai-islam&catid=43:artikel&Itemid=77>
Encep Azis Muslim, Prospek Partai Nasionalis Relijius Semakin Cerah, 15 Desember
2009, .
Komisi Pemilihan Umum Indonesia, Hasil Pemilu 2009, detiknews 12 Mei 2009,

No comments: