Tuesday, June 17, 2014

Industri Kreatif di Tengah Industrialisasi Migas



Industrialisasi Migas dan Bojonegoro kini bagaikan dua sisi mata uang. Tak bisa dilepaskan, meski kadang kontradiktif. Inginya membuat daerah maju dan masyarakat sejahtera, namun masih menelusuri jalan terjal. Perda konten lokal belum terlalu kuat di ranah implementasi hingga tujuannya untuk mengadvokasi dan menjamin keterlibatan sumber daya lokal mulai dipertanyakan. Demikian pula upaya pemerintah daerah mengajukan uji materiil UU 33 tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK), prosesnya menuai jalan buntu. Meski demikian, migas terlanjur membawa harapan tak kecil bagi pemangku kepentingan di Bojonegoro. Mulai masyarakat yang ingin bekerja di migas, NGO berharap menjadi mitra perusahaan besar dengan memanfaatkan CSR, kontraktor-kontraktor lokal berupaya mencari celah dengan legitimasi perda konten lokal hingga pemerintah daerah yang beraharap semakin besarnya pundi-pundi APBD melalui peningkatan dana bagi hasil. Hal tersebut didukung pemberitaan media yang menempatkan migas sebagai arus utama (mainstream) hingga mampu mengarahkan wacana masyarakat untuk minimal mengerti apa yang sedang terjadi di Bojonegoro dengan industri migasnya. 
Tulisan ini tidak bermaksud secara khusus mengkritisi realitas di atas. Karena tak bisa dipungkiri, sejauh pandangan awam, mengambil contoh pemerintah daerah, nampak berbaik hati untuk mengadvokasi kepentingan warganya agar mampu menikmati berkah migas. Mungkin hanya persoalan di lapangan, agar kebaikan pemerintah daerah tidak terkesan setengah-setengah dan masyarakat tidak kehilangan kepercayaan pada institusi tersebut. Begitu halnya masyarakat, tak bisa pula dipersalahkan mempunyai harapan besar pada industri migas. Jika mampu terlibat di dalamnya, impian cepat merengkuh materi diharap menjadi kenyataan.
Namun sebetulnya banyak orang paham jika migas bukanlah sumber daya alam abadi alias unrenewable. Cara pandang itu yang musti ditekankan (kembali). Memang semenjak kita duduk di bangku SD, pelajaran IPA sudah berkata demikian, namun kesedaran kolektif akan hal tersebut hilang manakala kita sebagai orang Bojonegoro pragmatis memaknai dan memanfaatkan berlimpahnya sumber daya alam. Sumber-sumber ekonomi utama maupun ikutan dari migas memang sedang menggeliat untuk saat ini. Ambil contohnya orang atau kelompok orang berlomba mendirikan CV, atau usaha rumah makan, perhotelan dan properti. Namun tak ada jaminan sumber-sumber ekonomi tersebut berjalan langgeng. Kekhawatiran yang muncul yaitu sebagian orang akan bingung manakala proyek migas sampai suatu titik akhir, lantas usaha-usaha tersebut tak laku lagi. Kekhawatiran yang boleh dikata masih terlalu dini. Kas sumur migas masih terlampau banyak yang baru akan disentuh. Namun mengawal atau membiarkan industrialisasi migas tetap berjalan diiringi pengurangan dependensia pada sektor tersebut nampak menjadi upaya lebih arif dan berkelanjutan.

Industri Kreatif dan Persoalan Sinergitas Pembangunan
Saat ini usaha ekonomi kreatif menjadi diskusi hangat. Di tingkat pusat, pergantian nomenklatur dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyiratkan usaha ekonomi kreatif menjadi harapan baru dalam pemerataan perekonomian nasional. Bagi daerah, ekonomi kreatif merupakan sarana mengembangkan ekonomi secara signifikan dan berkelanjutan dengan memanfaatkan sektor dan potensi diluar potensi konvensional, misalnya migas dan pertanian. Potensi tersebut tentunya didapatkan dari inovasi dan eksploitasi kreativitas yang muncul dari sumber daya manusia sehingga nantinya dapat berkontribusi untuk sosial dan ekonomi masyarakat. Pada dasarnya pengembangan ekonomi kreatif dapat dijalankan dalam kerangka kreativitas di 14 subsektor, antara lain: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video film & fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan & percetakan, layanan komputer & piranti lunak, televisi dan radio, kegiatan berbasis riset & pengembangan (Pangestu, 2008:xii).  
Di Bojonegoro usaha ekonomi kreatif telah mendapat ruang, bahkan sebelum dinamika migas menghangat. Potensi kreatif tumbuh, menjadi budaya dan sumber ekonomi masyarakat misalnya ada di Sukorejo (Kota), Kasiman dan Margomulyo dengan kerajinan kayu, Gondang dengan batu Onyx serta Malo dengan gerabahnya. Kiranya usaha itu yang sudah mapan. Jejaring dan pemasaran sudah lumayan luas. Namun masih ada yang lamat-lamat terdengar, misalnya kerajinan pelepah pisang di Boureno. Kini potensi kreatif nampak berkembang. Masih bertumpu pada subsektor kerajinan, pemerintah daerah mencoba memobilisasi masyarakat untuk merancang desain, menjalankan usaha hingga memakai batik Jonegoroan. Inisiasi komunitas masyarakat sendiri juga muncul dengan usaha desain dan kaos yang memuat kearifan lokal. Dalam wujud institusi, usaha-usaha kreatif mulai diaktualisasikan dalam desa wisata, misalnya Desa wisata Jono, Tanjungharjo dan Ringinrejo. Selain itu, geliat komunitas seni lokal–baik kontemporer maupun tradisi–tidak sepenuhnya redup. Pendopo Dinas Budpar, alun-alun dan halaman eks-RKPD mulai menjadi ruang publik bagi bermacam komunitas. Tak hanya komunitas seni pertunjukan, pegiat teknologi informasi, fotografi dan modeling juga mulai menunjukkan eksistensinya.              
Potensi kreativitas masyarakat Bojonegoro sebenarnya tak kalah dengan daerah lain dan ada potensi untuk bersaing dengan daerah mapan kreativitas, misalnya Jogja, Bandung atau Solo. Semangat komunitas sudah muncul, berarti ada pula simpanan modal sosial yang cukup besar. Tinggal bagaimana dipantik, difasilitasi higga mampu berkelanjutan untuk mengakumulasi modal finansial. Namun di sinilah persoalannya. Cetak biru pembangunan ekonomi hingga menjadi industri kreatif nampak belum tersedia. Fasilitasi pemerintah daerah sekedar eventual pun tidak berkelanjutan. Festival yang dulunya besar semisal Bojonegoro Wood Fair (BWF) kini kehilangan gema atau memang sudah tidak diselenggarakan. Padahal festival tersebut sesuai dengan karakter pariwisata yang sifatnya In-situ. Potensi dipromosikan di tempatnya berasal sekaligus membuka akses wilayah yang jauh dari ibukota kabupaten. Sedangakan Bojonegoro expo di alun-alun kesan hiburan lebih menonjol dari pada mengangkat dan memberdayakan potensi lokal. Demikian halnya dengan potensi yang muncul belakangan ini, batik Jonegoroan. Meski pengrajin mulai banyak namun daya beli masyarakat bisa dikata belum maksimal. Bisa pula disebabkan batik tersebut belum terlalu mengakar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi kebanggan bersama. Semantara ini Batik Jonegoroan masih terlalu dilembagakan lantas pihak-pihak tertentu saja yang memakai, misalnya anak sekolahan dan pegawai negeri.     
Selain menghadapi persoalan tersebut, industri kreatif tak dipungkiri terkait erat dengan pembangunan di sektor-sektor lain. Paling erat dan berhubungan langsung adalah pembangunan  pariwisata. Adanya destinasi wisata, apalagi destinasi wisata yang bagus dan menarik banyak pengunjung, sekaligus sebagai sarana mempromosikan dan menjual kreativitas masyarakat. Namun harus diakui, hingga kini sektor tersebut belum menjadi prioritas dalam pembangunan di Bojonegoro. Bidang pariwisata dibiarkan berjalan apa adanya tanpa ada sentuhan baru. Padahal destinasi wisata yang bagus dan terkenal adalah kebanggan bagi warga daerah. Terlebih ketika mampu memberi dampak ekonomi bagi warga sekitarnya, terutama yang bergerak dalam usaha ekonomi kreatif. Desa wisata yang saat ini muncul, tak menutup kemungkinan akan mencari jalan sendiri untuk mempromosikan potensi desanya ketika sinergi dengan potensi wisata utama belum ada. Tidak berhenti di situ, persoalan sinergitas akan tetap muncul manakala persoalan akses terutama infrastruktur jalan masih menjadi persoalan. Semoga dengan perbaikan jalan provinsi maupun peningkatan pavingisasi semakin mendekatkan dan memudahkan masyarakat daerah maupun luar daerah dengan potensi-potensi kreatif di Bojonegoro.        

Berharap pada Industri Kreatif
Potensi kreatif masyarakat tak mungkin dibiarkan begitu saja. Apalagi mengusung semangat besar, yaitu mencari alternatif untuk tidak semata berharap pada industrialisasi migas. Alternatif yang sejatinya telah tersedia di depan mata dan bahkan telah dijalankan, hanya saja lebih membutuhkan keseriusan dalam mengembangkannya. Ruang-ruang kreativitas representatif diharapkan semakin muncul dimana-mana, baik yang diupayakan komunitas sendiri maupun ada campur tangan pemerintah daerah untuk mengusahakan ruang-ruang tersebut.  Lantas fasilitasi pemerintah daerah berlanjut dengan mengintegrasikan dalam suguhan eventual secara rutin setiap tahunnya. Semisal mengambil momentum hari jadi kabupaten sebagai puncak ruang kreativitas bagi masyarakat. Mulai dari seni pertunjukan, potensi kerajinan, kuliner, hingga kreativitas masyarakat berbasis teknologi modern. Promosi event secara massif menjadi syarat utama. Kini mempromosikan Bojonegoro sebetulnya tak sulit. Tak bisa dielakkan, migas secara perlahan menjadikan daerah ini dikenal. Tentu kita tetap harus memanfaatkan momentum itu sembari menunjukkan bahwa Bojonegoro dikenal tak hanya lewat migas yang masih berselimut kontradiksi, namun juga potensi kreativitas masyarakatnya yang tersebar di berbagai wilayah dan lebih menjanjikan pemerataan ekonomi.         
Selain itu, menyambungkan pada sumber-sumber pembiayaan tetap kita anggap penting. Dengan catatan tak berlangsung terus menerus dan tahu kapan untuk berhenti ketika industri kreatif dirasa mampu mandiri. Semisal PNPM mandiri pariwisata yang masih relevan dijadikan kail pemantik usaha kreatif di desa wisata. Dan kini yang paling hangat di Bojonegoro, tak salah dan bisa kita anggap penting ketika potensi kreatif masyarakat disambungkan dan diadvokasikan dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Harapannya, CSR dalam berbagai bentuknya dari perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Bojonegoro mampu diarahkan untuk menumbuhkankembangkan  industri kreatif.
Namun dari kesemua itu, kembali berpulang pada mindset pemangku kepentingan di Bojonegoro. Sudahkah menganggap industri kreatif penting dan menjadikannya sebagai salah satu arus utama pembangunan ekonomi daerah? Harapan-harapan di atas kiranya belum bisa berwujud nyata ketika potensi kreatif masih dikesampingkan atau sekedar ada fasilitasi setelah itu hilang tak berbekas. Lantas hanya menunggu komunitas kreatif menemukan momentum dan semangantnya sendiri. Dan migas tetap menjadi tumpuan utama sekaligus melanggengkan pemujaan pada pertumbuhan ekonomi dari pada kemakmuran ekonomi daerah yang lebih merata. 

*) Tulisan ini dimuat di Tabloid Blok Bojonegoro Edisi Mei 2013
Penulis:
Danang Wahyuhono (Peneliti di Artca Indonesia-Konsultan Pariwisata dan Pemberdayaan Masyarakat) asal Ngasem Bojonegoro
Defirentia One Muharomah (Manajer Humas dan Media-Rifka Annisa Yogyakarta)





No comments: