Thursday, January 14, 2010

Analisis Pemikiran Politik Lee Kuan Yew : Hubungan Strategis Antara Otoriterisme, Demokrasi, dan Kebijakan Pembangunan

Oleh : Defirentia One Muharomah

Pendahuluan
"I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy.
The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct,
which are inimical to development."
-Lee Kuan Yew-


Lee Kuan Yew, seorang elite Partai Aksi Rakyat (PAP), sejak awal telah memegang kepemimpinan Singapura jauh sebelum negeri tersebut memutuskan untuk melepaskan diri dari federasi Malaya. Pasca pemisahan diri Singapura dari federasi Malaya pada tahun 1965, Lee mengendalikan kemudi pemerintahan city state tersebut atas dasar kepercayaan rakyat dan dukungan para elit mengingat prestasi Lee begitu besar dalam kemerdekaan Singapura. Lee kembali terpilih menjadi perdana menteri untuk ketujuh kalinya berturut-turut dalam kondisi Singapura yang bercondong kepada demokrasi terbatas (1963, 1968, 1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988), hingga pengunduran dirinya pada November 1990 kemudian menjabat sebagai Menteri Senior pada kabinet Goh Chok Tong. Selama menjabat sebagai perdana menteri, pemerintahan Lee Kuan Yew cenderung otoriter, elitis, dan dianggap tidak demokratis. Namun meskipun demikian, selama masa kepemimpinan Lee sepanjang tiga dasawarsa, Singapura berkembang dari negara golongan dunia ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, walaupun mempunyai sedikit penduduk dan minimnya sumber daya alam. Menurut keyakinannya, Singapura akan tetap maju meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, karena kunci dibalik kemajuan Singapura adalah kemauan dan tekat penduduknya. Dari poin tersebut dapat dikatakan, bahwa keyakinan politik seorang Lee Kuan Yew ternyata berpengaruh pada rakyat dan rekan-rekan politiknya untuk membangun Singapura yang lebih maju. Dengan kata lain, banyak pihak yang menerima dan mendukung pemerintahan yang otoriter tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang cukup menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut adalah bagaimana Lee Kuan Yew mengonstruksikan strategi awal pembangunan Singapura di tengah pilihan antara otoriterisme dan demokrasi.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas dan menganalisis tentang pemikiran politik Lee Kuan Yew serta pengaruhnya terhadap pola dan prioritas sistem politik yang dijalankan di Singapura yang pada akhirnya dapat menjelaskan tentang munculnya otoriterisme di negara tersebut. Dalam pembahasan hal-hal diatas, penulis menggunakan pendekatan dan sudut pandang individu yaitu Lee Kuan Yew sebagai actor penting dalam perpolitikan Singapura. Penulis mempertimbangkan bahwa sebagian besar pola politik di suatu negara tentu akan dipengaruhi pemikiran dan perilaku politik pemimpinnya. Hal ini didasari oleh pernyataan Henry Kissinger seperti yang dikutip oleh Prof.Dr.Mohtar Mas’oed, bahwa alasan melihat perilaku negara dari individu pembuat keputusan yaitu karena merekalah yang mendefinisikan tujuan, memilih alternatif tindakan untuk mencapai dan memanfaatkan kemampuan nasional untuk mencapai tujuan tersebut atas nama negara sehingga yang perlu dipelajari adalah bagaimana ideologi, motivasi, ideal, persepsi, nilai, sikap, perilaku, dan kebiasaan para individu yang berwenang untuk membuat keputusan atas nama negara.

Pemikiran Politik Lee Kuan Yew
Sebagai salah satu aktor penting dalam perpolitikan Singapura, Lee Kuan Yew memiliki beberapa pemikiran politik yang cukup unik yang berpengaruh terhadap perilaku kepemimpinannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, terkait masalah keterbatasan Singapura di awal kemerdekaannya, Lee menanggapi dengan cukup optimis bahwa kemajuan Singapura akan sangat ditentukan oleh kemauan dan komitmen rakyatnya. Sejak saat itu, pemerintahan Lee mulai menyusun sebuah strategi pembangunan dengan mempertimbangkan beberapa factor antara lain bina bangsa yang multicultural, serta orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi. Maka selanjutnya penulis akan menganalisis beberapa pemikiran politik Lee Kuan Yew di bawah ini.
Pembangunan sebagai inti ideologi negara. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa kebanyakan negara yang baru berkembang akan menemukan masalah yang cukup serius dalam pembangunannya. Masalah ini berhubungan dengan keterbatasan sumberdaya dalam negeri sehingga masing-masing pemegang kekuasaan harus cermat menentukan prioritas pembangunan. Katakanlah dalam kasus Singapura, menurut prioritas Lee pembangunan ekonomi merupakan satu hal yang terpenting bagi sebuah city state jika konteksnya national survival. Maka argumen yang diajukan adalah Lee Kuan Yew cenderung mengabaikan pakem aspek ideologi tertentu sebagai dasar pendirian negara. Lee tidak pernah menyebutkan bahwa Singapura yang baru berdiri tersebut akan dirancang menjadi sebuah negara sosialis ataukah liberalis.
Namun manakala mengamati latar belakang pendidikan Lee sebagai sarjana yang berpendidikan Barat dan kondisi Singapura yang merupakan bekas jajahan Inggris, dapat diasumsikan bahwa sedikit banyak ia akan menerapkan konsepsi pembangunan negara berlandaskan nilai-nilai liberalisme barat yang sarat dengan kapitalisme dan demokrasi. Maka prioritas pembangunan ekonomi yang dirancang Lee diikuti oleh pembukaan pasar secara bebas dan peningkatan industri. Namun dari latar belakangnya sebagai seorang etnis China, Lee sangat meyakini nilai-nilai confusian yang banyak menelurkan tradisi sosialis yang masih kaku terhadap demokrasi. Dalam konteks ini dapat digambarkan suatu pola bahwa kolaborasi ideologi yang dianut Lee membentuk suatu ideologi baru ala Singapura yang bertajuk ‘Demokrasi Sosialis’. Pemilihan kolaborasi ideologi tersebut didasarkan pada dua kepentingan yaitu masalah bina bangsa (nation building) dan pembangunan negara yang bertumpu pada economic development. Keduanya merupakan pilar yang harus diperkuat untuk mendukung jalannya pembangunan suatu bangsa yang baru merdeka.
Bagi negara kecil yang terdiri dari banyak etnis, bina bangsa ini penting untuk menanamkan identitas Singaporean sehingga jika masing-masing individu telah merasakan sense of place dan sense of belonging maka nasionalisme akan terbangun secara sendirinya. Hal ini dimaksudkan jika nasionalisme tiap individu kuat, ia tidak akan mempermasalahkan lagi dari etnis atau agama mana seseorang berasal, sehingga rakyat akan terintegrasi untuk mendukung pembangunan dan memberikan legitimasi kepada pemerintah. Selanjutnya, hal ini akan memperkuat pilar kedua yaitu pembangunan ekonomi sebagai modal national survival bagi Singapura. Ciri suatu negara yang menerapkan pembangunan ekonomi sebagai ideology antara lain akan didapati suatu pola pembuatan kebijakan public yang rasional, efisisensi, efektivitas, dan pragmatis.

Demokrasi sebagai penghambat pembangunan. Untuk mencapai goal yaitu pembangunan ekonomi, harus ada pemerintahan yang efisien dan efektif meminimalisir konflik. Kondisi singapura yang multietnis dikhawatirkan akan sarat dengan kepentingan sehingga jika tidak diakomodasi akan menimbulkan konflik. Maka saluran demokrasi perlu ditutup, pemerintah harus tersentralisasi demi efisiensi, serta perlu diterapkan aturan yang keras dengan law enforcement yang tegas. Sebagai contohnya, Lee membuat peraturan-peraturan yang cukup ketat dan keras untuk menekan kelompok oposisi dan kebebasan berpendapat rakyatnya. Bahkan, Lee tidak segan-segan menghukum siapa saja yang tidak setuju dengan kebijakannya. Dalam hal ini penulis menggarisbawahi sistem pemerintahan terpusat dan otoriter yang dijalankan Lee Kuan Yew ini sedikit banyak dikonstruksikan dari pemikiran bahwa demokrasi hanya akan menghambat pembangunan.
Agar lebih mudah memahami alur berpikir tersebut kita perlu mencermati konsepsi dari Gabriel Almond. Seperti yang dinyatakan Gabriel Almond (2008), dalam sistem politik terdapat beberapa aspek penting yang tidak bisa diabaikan antara lain pandangan individu terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam sistem tersebut, keberadaan identitas social serta adanya legitimasi pemerintah. Legitimasi ini penting karena hal tersebut merupakan titik tolak keberhasilan suatu sistem politik yang dijalankan.(Almond,2008:44). Di sisi lain, proses politik yang dijalankan di suatu negara akan mempengaruhi sikap dan orientasi individu terkait peran warga negara dalam perpolitikan serta persepsi terhadap hak-hak politik mereka (Almond, 2008:44).

It is much easier for government to function when citizens believe in the legitimacy of the system, virtually all governments, even the most brutal and coercive, try to encourage people to believe that they should obey the law….the leader may base their claim to legitimacy on their special wisdom or ideology, which they claim will transform people live’s for the better,even though the government does not respond to specific public demands or follow prescribe procedures.
-Gabriel Almond, 2008-

Selanjutnya Almond menjelaskan bahwa kedua hal diatas, baik level system maupun proses politik sangat menentukan pola output dan outcome pada level kebijakan. Dalam kasus Singapura, konsepsi Almond tersebut dapat menjelaskan bahwa pada level kebijakan peran pemerintah sangat penting untuk menentukan pencapaian tujuan dari sistem politik yang dijalankan. Lee Kuan Yew sebagai pemegang kekuasaan menentukan prioritas apa saja (dalam bidang ekonomi, social, atau politik) yang harus diwujudkan sesuai dengan national interest dan posisinya terhadap perpolitikan dunia.
Suatu negara mungkin mempunyai prioritas yang berbeda, namun yang dipentingkan di sini adalah bagaimana pemerintah menyesuaikan pola sistem politiknya sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, misalnya pengadopsian sistem otoritarian, demokratis, dan sebagainya. Level ini penting sebagai parameter apakah goal yang dicapai sesuai dengan ekspektasi warga negara dan apakah menghasilkan outcome yang cukup signifikan terkait efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Maka bagi Lee Kuan Yew, sistem otoriter dianggap tepat untuk memperkuat legitimasi dan efisiensi pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa dan negara.
Pemikiran Lee Kuan Yew tersebut dapat ditarik analisis lebih dalam dengan menggunakan konsepsi Lipset (dalam Mohtar,2003:70) bahwa demokrasi politik umumnya akan terjadi setelah terjadi keberhasilan pembangunan ekonomi. Konsepsi tersebut, mengutip argumen Mohtar Mas’oed, dapat menjelaskan bahwa pilihan strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi telah menimbulkan keharusan structural untuk mengembangkan politik yang tertib dan efisien tetapi tidak demokratis (Mohtar, 2003:170).

Otoriterisme sebagai implementasi politik ketertiban. Berdasarkan poin-poin yang telah banyak dianalisis dan dengan mengacu pada skema di atas selanjutnya dapat ditarik penalaran untuk menjelaskan munculnya otoriterisme Lee Kuan Yew di Singapura. Diajukan argument bahwa otoriterisme Lee Kuan Yew muncul sebagai implementasi pilihan kebijakan rasional untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan yang pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan dan memperkuat national survival. Bagi seorang Lee Kuan Yew otoriterisme dianggap sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan efisiensi pemerintah dalam mencapai tujuan nasional melalui politik ketertiban. Alhasil, Singapura dapat menjadi sebuah negara yang maju, bebas dari korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka.
Namun otoriterisme Lee ini tentunya juga memiliki dimensi rasional, menurut penulis bagi Lee Kuan Yew manakala pemerintah telah berupaya keras untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi maka rakyat harus memberikan trust sebagai wujud dukungan legitmasi pemerintah. Rakyat perlu meyakini bahwa system yang dijalankan Lee saat itu adalah demi kemakmuran rakyat Singapura. Meskipun terkesan elitis dan otoriter namun rakyat harus percaya bahwa demokrasi perlahan akan muncul jika kemakmuran ekonomi telah terwujud dan perpolitikan stabil.


Kesimpulan
Mengutip pernyataan Lee, modal pembangunan Singapura adalah kepercayaan dan keyakinan rakyat, kerja keras, hemat, haus belajar, dan kesadaran bahwa tindakan korup akan menghancurkan segala harapan sehingga kepercayaan rakyat tidak boleh disia-siakan sebab hal tersebut merupakan modal besar untuk sebuah perubahan. Dapat dikatakan, sistem otoriter yang dijalankan Lee saat itu tidak lantas bersifat zero-sum yang hanya menguntungkan pemerintah sedangkan rakyat tidak memperoleh manfaat sedikit pun. Namun, system otoriter yang diterapkan Lee Kuan Yew cenderung lebih membuka celah adanya mutual benefit karena memberikan harapan bagi kemakmuran ekonomi rakyat. Hal ini merupakan poin penting dalam analisis terhadap hubungan strategis antara otoriterisme Lee Kuan Yew dan pembangunan ekonomi Singapura meskipun relasi keduanya mengorbankan aspek demokrasi yang merupakan aspek penting bagi sebuah masyarakat modern.
Penulis menemukan satu poin penting sepanjang analisis di atas, bahwa dalam hal ini Lee Kuan Yew telah menemukan dimensi strategis tentang pola hubungan otoriterisme, kebijakan pembangunan ekonomi, dan demokrasi. Dua faktor yang disebutkan lebih awal adalah bagian yang bisa disinergiskan dan dijalankan bersama-sama, namun factor demokrasi hanya merupakan output bahkan side-effect jika relasi antara otoriterisme dan economic policy telah berhasil mencapai tujuannya. Itulah sebabnya mengapa factor demokrasi perlu diabaikan di awal pembangunan Singapura.
Bagi negara yang memiliki banyak keterbatasan sumberdaya, pemilihan strategi pembangunan yang tepat sangat dibutuhkan. Belajar dari kasus Singapura di atas, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Lee Kuan Yew berhasil menjadi seorang pemimpin yang meletakkan dasar kemajuan Singapura. Secara umum, pemikiran politik seorang pemimpin sangat menentukan pilihan tujuan apakah sebuah negara ingin menjadi negara maju atau pun negara miskin. Semua itu tergantung pada strategi pemimpin suatu negara untuk memanfaatkan potensi yang ada dengan mengonversikan segala keterbatasan menjadi peluang dan kekuatan.



4 comments:

Anonymous said...

setuju...
singapura memang mantap dalam memilih sistem politik yang sesuai dengan kondisi internal maupun eksternalnya...

menurutku yang dibangun oleh Lee Kuan Yew, seperti bentuk bangunan atau rumah...
kalau dilihat dari tiga aspek, yaitu nation-building, state-building, dan eco-pol-building...

nation-building terletak sbg pondasi dari apa yg dibangun oleh Lee Kuan Yew/PAP...
state-building adalah tiang pnyangga...
sdangkan eco-pol build adalah atapnya...

ketiga aspek tsb saling bhubungan dan bkaitan... bila salah satunya lemah, maka bangunan tsb (negara singapura) akan rapuh... dan mudah jatuh dalam krisis...

nation-building yng dijalankan singapura lebih mudah.. karena sudah terbentuk sebelum singapura merdeka atau masih berada di bawah koloni Inggris...

yang terpenting adalah stabilitas, efektivitas, dan efisiensi politik yang dijadikan oleh Lee/PAP sebagai senjata dalam state-buildingnya... pemilihan cara tersebut memiliki korelasi dengan tujuan Lee di awal kemerdekaan Singapura yaitu mengembangkan SIngapura secara ekonomi dan industrial (kalo gak salah)

lee benar2 bisa memanfaatkan kekuatan politiknya baik melalui parlemen maupun secara hukum (ISA)... melanggengkan kekuasaan, bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarganya SAJA... tetapi juga untuk Singapura, Inc.
penguasaan parlemen oleh PAP dan pembredelan tindakan politik oposisi... mempermudah Lee mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memiliki efek positif terhadap ekonomi SIngapura...

keberhasilan Lee/PAP dalam membangun ekonominya memberikan efek feedback kepada masyarakat akan kepercayaan politik terhadap kepemimpinan Lee/PAP... Trust tersebut datang secara otomatis sebagai konsekuensi keberhasilan kebijakan eco-pol Lee/PAP...

wallahu a'lam...
wassalam...

FN-HI'07

Defirentia One said...

betul betul,makasih buat feedbacknya...
emang ya Singapura tu inspiratif banget, pemimpinnya bener2 tau gmn cara meyakinkan rakyatnya kalo mereka paham rakyat dan mereka tau yg terbaik bwt rakyat.
Dan janji mereka bukan hanya sekedar janji2 manis,kyk yg sring terjadi di Indonesia,hbs manisnya tinggal getahnya..
Sungguh strategi yang jitu dlm mengharmoniskan 3 pilar penentu kemajuan negara, nation building, state buid, dan pembangunan ekonomi.Tanpa mengurangi kebanggaan pd Indonesia,Singapura bg sy memang bgitu mengagumkan.

Burhanuddin Harun said...

Lee Kuan Yew bagi Saya adalah sosok yang sangat mengagumkan, ia telah mengawal Singapura menjadi negara besar secara ekonomi, walaupun wilayahnya kecil.
Yang menarik dari pemikirannya adalah mengenai nilai-nilai Asia. Lee sudah menemukan jatidiri Singapura, walaupun memerlukan perbaikan di berbagai aspek.
Saya mendambakan setiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia menjadi sukses seperti Singapura.
Bersama kita Bisa!

Irsanmakong said...

Iyah sih.. tapi konsekuensinya kelompok masyarak yang tidak siap akan perubahan (tidak mampu beradaptasi) akan tergeser dan tergantikan oleh kelompok masyarakat baru.. begitulah Masyarakat etnis melayu di singapore..